Breaking News
Loading...
Senin, 21 Mei 2018

SALAH BUAYA

Oleh Indra Ambalika Syari S.Pi, M.Si bin H. Syarnubi, S.Pd
Dosen Ilmu Kelautan UBB & Wa. Ketua Yayasan Sayang Babel Kite

Berawal dari foto-foto  seorang teman di sosmed yang memperlihatkan kondisi buaya naas yang “katanya” adalah tersangka utama pemangsa manusia di sungai Bangka Kota sekitar bulan januari 2018 lalu. Saya mencoba menulis ulasan terkait binatang buas ini. Berita manusia diserang buaya di daerah Bangka Belitung seperti nya tak aneh lagi terjadi. Media lokal hampir tak pernah luput untuk memuat berita mengerikan tersebut. Sudah tak terhitung kasus manusia diserang buaya saat disungai dan kolong.  Terkesan dalam berita yang dimuat, manusia adalah korban dan buaya adalah tersangka. hmmm.. bisa jadi itu benar.

http://wowbabel.com/2018/01/08/buaya-sakit-tenggorokan-ternyata-ada-benda-ini-di-mulutnya memuat berita tentang nasib buaya yang kesakitan karena ada dua kail pancing yang tersangkut di dalam saluran pencernaannya. Selama penangkapan buaya diikat moncongnya tak berdaya dengan luka dalam yang diderita. Rata-rata setelah terjadi kasus penerkaman buaya, masyarakat akan memancing buaya agar tidak terjadi kasus serupa meskipun kenyataannya kejadian-kejadian baru tetap terjadi.

Singkat cerita, tak lama berselang buaya tersebut akhirnya mati. Luka dalam dan stress tinggi diestimasi menjadi penyebabnya. Investigasi pun dilakukan untuk melihat isi perut buaya yang baru saja mati. Mencari bukti di dalam lambung buaya apakah ada sisa bagian-bagian tubuh manusia yang menjadi korban “si tersangka”. Ternyata setelah diambil isi perutnya, tak ditemukan sepotongpun organ manusia. Padahal berdasarkan hasil penelitian, seharusnya sisa organ masih dapat ditemukan dari pemangsaan buaya. Artinya, kemungkinan besar bukan buaya ini yang memangsa. Tapi nasi telah menjadi bubur. Buaya telah terlanjur tak bernyawa.

Yang menarik adalah isi di dalam perut buaya naas tersebut. Ternyata sebagian besar dari dalam perut buaya yang dikeluarkan adalah sampah plastik, kantong asoy, tali rapia dan tali nilon. Semua itu tentu berasal dari sampah manusia. Dari peristiwa ini saya coba meramu pelajaran a.l :

1.      Buaya yang tertangkap adalah buaya yang bukan memangsa manusia tersebut. Artinya, dalam upaya memancing buaya kita tidak bisa memilih atau memastikan bahwa buaya yang didapat pastilah buaya yang memangsa manusia tersebut. Boleh jadi yang tertangkap adalah buaya yang sebenarnya tidak memangsa manusia. Sehingga perlu dipertimbangkan untuk efektivitas dari metode ini.

2.      Buaya yang terpancing dipastikan akan mengalami luka di bagian dalam akibat mata kail yang tersangkut di dalam saluran pencernaan. Hal ini berakibat pada kematian buaya seperti yang tejadi pada kasus ini. Padahal, niat memancing buaya sebenarnya adalah memindahkan buaya dari perairan tersebut agar tidak memangsa manusia lagi ke perairan yang lebih alami dan aman.

3.      Isi perut buaya ternyata sebagian besar adalah sampah plastik yang berasal dari manusia. Hal ini menunjukkan bahwa sungai yang menjadi rumah buaya telah tercemar oleh limbah plastik manusia. Bisa jadi sampah-sampah plastik tersebut disangka adalah makanan buaya sehingga kemudian dimakan yang sebenarnya membahayakan bagi buaya. Hal serupa terjadi pada penyu yang memakan sampah plastik di laut karena mirip dengan ubur-ubur yang terapung.

4.      Manusia telah mengotori sungai dengan sampah. Selain itu manusia pun banyak yang menangkap ikan dan biota sungai lainnya seperti kepah, kepiting dan udang dengan cara yang rakus, tidak ramah lingkungan, dan tidak memikirkan keberlanjutan populasi biota sungai. Penangkapan dilakukan dengan alat tangkap yang menyapu habis biota sungai, merusak habitat dan lain sebagainya. Hal inilah kemudian yang membuat ikan dan biota sungai yang menjadi makanan buaya sangat berkurang.

5.      Realita yang terjadi di Pulau Bangka dan Belitung, banyak sungai dan kolong yang rusak parah akibat sedimentasi dan kekeruhan akibat dampak penambangan di lokasi dan sekitarnya. Air yang keruh tinggi tersebut membuat telur-telur ikan dan biota sungai lainnya akan sulit menetas. Hal ini karena telur akan tertutup oleh lapisan lumpur dan biasanya akan busuk/tidak menetas. Jika pun menetas, masa kritis larva ikan dan biota air lainnya akan sangat mudah mati jika air sungai sangat keruh dan kotor. Dengan demikian, keberlanjutan populasi di sungai akan sangat berkurang lagi.

6.      Point 4 dan 5 membuat buaya akan semakin sulit mencari makanan di sungai seperti sebelumnya (saat air sungai masih alami dan biota sungai normal). Pada kondisi lapar, tak hanya buaya, manusia yang dikaruniai akal pikiran pun dapat menjelma menjadi buas.
7.      Kasus penyerangan buaya kepada manusia di habitat buaya kemungkinan akan terus terjadi jika masalah yang terjadi pada point 4 dan 5 tak cepat ditangani.

Perlindungan terhadap habitat buaya dan pemulihan populasi sungai menjadi sangat penting untuk dilakukan. Tak hanya sekedar menyalahkan buaya yang menerkam manusia. Hasil penelitian mengatakan bahwa buaya menerkam manusia karena lapar dan/atau merasa terganggu.

Teringatlah saya dengan desa tempat saya dulu bermain dimasa kecil. Desa Bukit Layang. Terdapat sungai yang membelah desa. Sungai Layang yang menjadi bagian dari nama desa ini. Mengalir panjang hingga bermuara di Teluk Kelabat. Dulu, sebelum penambangan timah rakyat ilegal marak terjadi. Cerita orang tua dulu, buaya dan nelayan di desa hidup berdampingan. Hampir tak pernah ada kasus manusia dimangsa buaya. Air sungai kala itu sangat jernih, alami dengan ikan dan biota sungai lainnya yang masih terjaga. Nelayan menangkap ikan sesuai dengan kebutuhannya dan penangkapan pun dilakukan dengan ramah lingkungan dan tidak serakah. Setelah tahun 2011, sekitar 200 ponton apung menambang timah ditengah-tengah aliran sungainya. Menyisakan kerusakan hingga saat ini. Tak terbilang kasus terkaman buaya sudah terjadi. Tak hanya di sungai, tapi dikolong-kolong yang telah ditinggali buaya karena berpindah dari sungai, rumahnya yang porak poranda.

Ibarat kata, kita merusak rumahnya, mengambil isi harta bendanya, lalu ketika pemilik rumah membela dengan caranya, kita menyalahkannya. Jadi siapa yang tak bijak sebenarnya? Menyalahkan sang buaya? Manusia yang sebenarnya dikaruniai akal dan pikiranlah yang seharusnya lebih bijaksana. Terlebih mereka yang sedang mendapat amanah mengatur lingkungan dan sumberdaya alam di daerah ini. Semoga lingkungan kita semakin terjaga. Sungai yang airnya jernih dengan beragam biota. Tetap terjaga warisan untuk anak cucu nanti. Bukan hanya tinggal cerita.





Publikasi Foto telah mendapat Izin dari pemilik asli foto : Zaunariyah, tahun 2018

1 komentar:

  1. miris liat e,sandal, plastik tali dll yang menjadi makanan hewan carnivora tersebut, seharusnya kita yang diberi kelebihan akal berfikir mengapa sampai hewan tersebut makan manusia? "Takkan ada asap kalau tidak ada api" hewan cuma dikarunia insting bukan akal.

    BalasHapus