SALAH BUAYA
Oleh Indra Ambalika Syari S.Pi, M.Si bin H. Syarnubi, S.Pd
Dosen Ilmu Kelautan UBB & Wa. Ketua Yayasan Sayang Babel Kite
Berawal dari foto-foto seorang teman di sosmed yang memperlihatkan
kondisi buaya naas yang “katanya” adalah tersangka utama pemangsa manusia di sungai
Bangka Kota sekitar bulan januari 2018 lalu. Saya mencoba menulis ulasan
terkait binatang buas ini. Berita manusia diserang buaya di daerah Bangka
Belitung seperti nya tak aneh lagi terjadi. Media lokal hampir tak pernah luput
untuk memuat berita mengerikan tersebut. Sudah tak terhitung kasus manusia
diserang buaya saat disungai dan kolong.
Terkesan dalam berita yang dimuat, manusia adalah korban dan buaya
adalah tersangka. hmmm.. bisa jadi itu benar.
http://wowbabel.com/2018/01/08/buaya-sakit-tenggorokan-ternyata-ada-benda-ini-di-mulutnya memuat
berita tentang nasib buaya yang kesakitan karena ada dua kail pancing yang tersangkut
di dalam saluran pencernaannya. Selama penangkapan buaya diikat moncongnya tak
berdaya dengan luka dalam yang diderita. Rata-rata setelah terjadi kasus
penerkaman buaya, masyarakat akan memancing buaya agar tidak terjadi kasus
serupa meskipun kenyataannya kejadian-kejadian baru tetap terjadi.
Singkat cerita, tak lama berselang buaya
tersebut akhirnya mati. Luka dalam dan stress tinggi diestimasi menjadi
penyebabnya. Investigasi pun dilakukan untuk melihat isi perut buaya yang baru
saja mati. Mencari bukti di dalam lambung buaya apakah ada sisa bagian-bagian
tubuh manusia yang menjadi korban “si tersangka”. Ternyata setelah diambil isi
perutnya, tak ditemukan sepotongpun organ manusia. Padahal berdasarkan hasil
penelitian, seharusnya sisa organ masih dapat ditemukan dari pemangsaan buaya.
Artinya, kemungkinan besar bukan buaya ini yang memangsa. Tapi nasi telah
menjadi bubur. Buaya telah terlanjur tak bernyawa.
Yang menarik adalah isi di dalam perut buaya
naas tersebut. Ternyata sebagian besar dari dalam perut buaya yang dikeluarkan
adalah sampah plastik, kantong asoy, tali rapia dan tali nilon. Semua itu tentu
berasal dari sampah manusia. Dari peristiwa ini saya coba meramu pelajaran a.l
:
1. Buaya yang tertangkap adalah buaya yang bukan memangsa manusia
tersebut. Artinya, dalam upaya memancing buaya kita tidak bisa memilih atau
memastikan bahwa buaya yang didapat pastilah buaya yang memangsa manusia
tersebut. Boleh jadi yang tertangkap adalah buaya yang sebenarnya tidak
memangsa manusia. Sehingga perlu dipertimbangkan untuk efektivitas dari metode
ini.
2.
Buaya yang
terpancing dipastikan akan mengalami luka di bagian dalam akibat mata kail yang
tersangkut di dalam saluran pencernaan. Hal ini berakibat pada kematian buaya
seperti yang tejadi pada kasus ini. Padahal, niat memancing buaya sebenarnya
adalah memindahkan buaya dari perairan tersebut agar tidak memangsa manusia
lagi ke perairan yang lebih alami dan aman.
3.
Isi perut
buaya ternyata sebagian besar adalah sampah plastik yang berasal dari manusia.
Hal ini menunjukkan bahwa sungai yang menjadi rumah buaya telah tercemar oleh
limbah plastik manusia. Bisa jadi sampah-sampah plastik tersebut disangka
adalah makanan buaya sehingga kemudian dimakan yang sebenarnya membahayakan
bagi buaya. Hal serupa terjadi pada penyu yang memakan sampah plastik di laut
karena mirip dengan ubur-ubur yang terapung.
4.
Manusia
telah mengotori sungai dengan sampah. Selain itu manusia pun banyak yang
menangkap ikan dan biota sungai lainnya seperti kepah, kepiting dan udang
dengan cara yang rakus, tidak ramah lingkungan, dan tidak memikirkan
keberlanjutan populasi biota sungai. Penangkapan dilakukan dengan alat tangkap
yang menyapu habis biota sungai, merusak habitat dan lain sebagainya. Hal
inilah kemudian yang membuat ikan dan biota sungai yang menjadi makanan buaya sangat
berkurang.
5.
Realita yang
terjadi di Pulau Bangka dan Belitung, banyak sungai dan kolong yang rusak parah
akibat sedimentasi dan kekeruhan akibat dampak penambangan di lokasi dan
sekitarnya. Air yang keruh tinggi tersebut membuat telur-telur ikan dan biota sungai
lainnya akan sulit menetas. Hal ini karena telur akan tertutup oleh lapisan
lumpur dan biasanya akan busuk/tidak menetas. Jika pun menetas, masa kritis
larva ikan dan biota air lainnya akan sangat mudah mati jika air sungai sangat
keruh dan kotor. Dengan demikian, keberlanjutan populasi di sungai akan sangat
berkurang lagi.
6.
Point 4 dan
5 membuat buaya akan semakin sulit mencari makanan di sungai seperti sebelumnya
(saat air sungai masih alami dan biota sungai normal). Pada kondisi lapar, tak
hanya buaya, manusia yang dikaruniai akal pikiran pun dapat menjelma menjadi
buas.
7. Kasus penyerangan buaya kepada manusia di habitat buaya
kemungkinan akan terus terjadi jika masalah yang terjadi pada point 4 dan 5 tak
cepat ditangani.
Perlindungan terhadap habitat buaya dan
pemulihan populasi sungai menjadi sangat penting untuk dilakukan. Tak hanya
sekedar menyalahkan buaya yang menerkam manusia. Hasil penelitian mengatakan
bahwa buaya menerkam manusia karena lapar dan/atau merasa terganggu.
Teringatlah saya dengan desa tempat saya dulu
bermain dimasa kecil. Desa Bukit Layang. Terdapat sungai yang membelah desa.
Sungai Layang yang menjadi bagian dari nama desa ini. Mengalir panjang hingga
bermuara di Teluk Kelabat. Dulu, sebelum penambangan timah rakyat ilegal marak
terjadi. Cerita orang tua dulu, buaya dan nelayan di desa hidup berdampingan.
Hampir tak pernah ada kasus manusia dimangsa buaya. Air sungai kala itu sangat
jernih, alami dengan ikan dan biota sungai lainnya yang masih terjaga. Nelayan
menangkap ikan sesuai dengan kebutuhannya dan penangkapan pun dilakukan dengan
ramah lingkungan dan tidak serakah. Setelah tahun 2011, sekitar 200 ponton
apung menambang timah ditengah-tengah aliran sungainya. Menyisakan kerusakan
hingga saat ini. Tak terbilang kasus terkaman buaya sudah terjadi. Tak hanya di
sungai, tapi dikolong-kolong yang telah ditinggali buaya karena berpindah dari
sungai, rumahnya yang porak poranda.
Ibarat kata, kita merusak rumahnya, mengambil
isi harta bendanya, lalu ketika pemilik rumah membela dengan caranya, kita
menyalahkannya. Jadi siapa yang tak bijak sebenarnya? Menyalahkan sang buaya?
Manusia yang sebenarnya dikaruniai akal dan pikiranlah yang seharusnya lebih
bijaksana. Terlebih mereka yang sedang mendapat amanah mengatur lingkungan dan
sumberdaya alam di daerah ini. Semoga lingkungan kita semakin terjaga. Sungai
yang airnya jernih dengan beragam biota. Tetap terjaga warisan untuk anak cucu nanti.
Bukan hanya tinggal cerita.
Publikasi Foto telah mendapat Izin dari pemilik asli foto : Zaunariyah, tahun 2018
miris liat e,sandal, plastik tali dll yang menjadi makanan hewan carnivora tersebut, seharusnya kita yang diberi kelebihan akal berfikir mengapa sampai hewan tersebut makan manusia? "Takkan ada asap kalau tidak ada api" hewan cuma dikarunia insting bukan akal.
BalasHapus