Ada yang menyangkal kalau “Dak
Kawa Nyusah” adalah kearifan lokal? Hehehee.. memang butuh alasan ilmiah untuk
menjawabnya. Karenanya saya pun
melakukan penelitian kecil-kecilan untuk mengulasnya. Penelitian lintas negara
lho. Hehee.. Yang pasti, artikel ini saya tulis karena cinta saya yang mendalam dengan kampung
halaman. Bercampur dengan rasa sakit hati, kesel, dongkol, sebel dan
geram karena banyaknya pejabat-pejabat di daerah Bangka Belitung (Babel) yang
menyalahkan masyarakat Babel yang “Dak Kawa Nyusah” dari evaluasi kegagalan
program mereka. Apakah Anda pernah mendengar dalam pertemuan, di atas podium
atau di depan meja utama dengan mix kencang, ada pejabat yang bilang seperti
itu? Saya sering, hiks.. Hebatnya lagi, istilah “Dak Kawa Nyusah” sudah
mengalami distorsi pengertian menjadi “Pemalas”. Lho-lho.. bukannya Dak Kawa
Nyusah = Tidak Mau Bersusah-susah? Maksudnya tidak mau bersusah-susah melakukan
sesuatu. Jika memang ada cara yang mudah, mengapa harus pilih yang susah khan?
Jika memang bisa kerja efektif
dan efisien, mengapa harus cari yang sulit khan? Bukannya dasar diciptakannya
teknologi untuk mempermudah kerja manusia? Lalu mengapa bisa berubah “Dak Kawa
Nyusah” menjadi “Pemalas”?. Bahkan banyak generasi muda yang latah mengikuti
trend distorsi ini hingga sering saya dengar istilah “Kami generasi kawa nyusah”. Hee..
Pertanyaannya adalah dari mana
asalnya istilah “Dak Kawa Nyusah”?. saya tak tahu percis dari mana asal dan
awalnya. Tapi, Saya percaya bahwa ini berasal dari Nenek moyang kita di Babel.
Suka tidak suka. Eits! Tapi bukan versi terjemahan “Pemalas” ya?. Karenanya,
saya percaya bahwa ada sisi positif
dari ungkapan “Dak Kawa Nyusah” ini. Jangan hanya lihat dari negatifnya saja.
Ada nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Saya percaya.
Lucunya, ada orang-orang yang
membandingkan orang Babel yang versi pemalas “Dak Kawa Nyusah” dengan orang-orang
yang rajin di luar negeri sana. Seperti orang Jepang, Inggris, Jerman dan Amerika Serikat. Inilah kemudian yang
melatarbelakangi penelitian saya. Penelitian yang tidak disengaja. Saat
menemani makan malam tamu dari kantor yang berasal dari Jepang. Kebetulan tamu tersebut
tergolong pejabat dibidang perikanan kelautan di negeri sakura. Dia berkata “Bangka is too hot to work” (Bangka terlalu panas untuk bekerja).
Maksudnya, cuaca di Bangka terasa panas sehingga kurang maksimal untuk bekerja.
Mungkin di Jepang lebih
dingin daripada di Bangka. Tapi kenyataannya memang di Jepang sebagian besar negaranya beriklim
subtropis dengan empat musim. Wajar jika lebih dingin. Cuaca yang tidak terlalu
panas memang membuat kita semangat untuk berkativitas. Hitung-hitung sekalian
untuk memanaskan tubuh. Tak heran jika orang Jepang hobi jalan kaki atau naik sepeda. Bekerja sekian jam dan
sebagainya. Sebaliknya, saat panas mendera seperti cuaca di Babel, orang Jepang saja bisa mengeluh.
Hehee.. kalau dipaksa bekerja ditengah-tengah suhu panas, yang terjadi adalah seperti siswa upacara
di siang bolong. Pingsan.
Dari jepang, saya mulai melakukan
penelitian dengan beberapa responden dari luar negeri lainnya. Kebetulan
penelitian saya bidang terumbu karang di Bangka Belitung cukup lengkap sehingga sering
diwawancara oleh wartawan luar negeri. Ciyeee... jadi saya pun mewawancarai mereka. Berikut
saya coba paparkan hasil penelitiannya;
- Wartawan BBC dari London - Inggris. Setting tempat pengambilan gambar waktu itu di Pantai Tongachi Sungailiat. Wartawannya sebanyak dua orang asli dari British/Inggris. Pengambilan gambar waktu itu sekitar jam 10 pagi menjelang siang. Matahari mulai naik. Sambil wawancara dan mengambil gambar, saya melihat wajah kedua wartawan mulai memerah. Keringatnya sebutir-butir jagung mulai menetes dari rambut pirangnya. Hehee..Saya bertanya “are you feel hot?” (kamu merasa panas?). wartawannya hanya mengangguk pelan.Saya lanjut berkata “Bukannya turis di Bali sengaja berjemur di pantai? Sebagian ada yang berenang, berselancar, dll”.Wartawannya menjawab “Untuk rekreasi/wisata, Sunbathing, Swimming, Surving, Snorkeling,.. it’s oke! Tapi untuk bekerja, it’s not oke!”.Saya tanya lagi “Memangnya kalo di Inggris, suhunya berapa?”“Maksimal 23 oC di musim panas” jawab wartawan singkat.Waduuuuh... dingin bener ya ternyata di Inggris. Suhu di Babel berapa ya??? Hehee..Artinya, untuk bekerja kita memang membutuhkan cuaca yang sesuai. Yang membantu kita lebih focus dan kondusif untuk bekerja. Jadi wajar jika saat suhu panas, misalnya di siang hari. Kita istirahat sejenak. Tidur siang, nonton tv, baca koran, ngobrol sambil minum kopi, dll. Yang tidak wajar kalau minum kopi, baca koran, nonton tv dan tidur seharian penuh. Hehe.2. Wartawan dari Jerman. Mereka sudah membuat schedule akan wawancara sekitar jam 5 sore di rumah saya. Ada 2 orang wartawan dari jerman. Tentu dengan guide dan driver. Wawancara sampai menjelang magrib. Saya lihat kedua wartawan tampak kegerahan. Maklum di rumah saya tak terpasang AC, hiks. Dahinya sudah basah oleh keringat. Bajunya mulai basah di bagian-bagian tertentu, hehee.. tangannya keluar bulir-bulir keringat. Nafasnya mulai cepat. Saya bertanya “are you feel hot?”.
Wartawannya hanya mengangguk pelan dan kembali focus dengan pertanyaan yang tertulis pada kertas di tangannya. Inilah yang saya suka dengan orang luar negeri. Mereka berusaha focus dengan pekerjaan mereka meski diderita cuaca panas Pulau Bangka, hehee..
Sesi Wawancara dengan Wartawan dari Media Jerman
Foto Bersama Wartawan dari Media Jerman 3. Wartawan Mongabay - Amerika Serikat. Janjian di Pantai Rebo Sungailiat. Mereka ikut langsung dalam kegiatan snorkeling Yayasan Sayang Babel Kite di spot Karang Rulak. Tak perlu ditanya bagaimana kondisinya. Siang bolong di pinggir pantai. Lebih parah dari responden sebelumnya.
Meski dengan
jumlah sample yang terbatas, tapi dari empat responden yang berasal dari negara maju yang berbeda, dengan produktifitas
masyarakatnya yang
tinggi, mengeluhkan
dengan panasnya cuaca di Pulau Bangka. Artinya, sangat tidak fair kalau ada yang membandingkan antara
orang Babel dengan Jepang, Inggris, Jerman atau Amerika Serikat. Kondisi cuaca dan lingkungannya saja
berbeda. Babel is too hot
bro.. jadi wajar jika di siang hari kita di Babel terlihat santai. Dak Kawa
Nyusah (tidak mengerjakan hal-hal yang susah/berat). Lebih baik ngadem dulu.
Istirahat sejenak. Tidur siang, ngopi, baca koran atau nonton tv. Terkesan
tidak produktif. Tapi saya pikir ini adalah cara efektif untuk menyimpan energi
dan kekuatan sebagai bekal pekerjaan di sore atau malam hari nanti.
Teringatlah
saya waktu kecil, liburan sekolah di rumah Nenek di kampung. Selesai sholat subuh langsung sarapan dan bawa
beberapa bekal untuk ke kebun. Pagi-pagi sudah sampai kebun sahang. Nenek
membersihkan rumput, mengikat pohon sahang/lada yang menempel di junjung,
menanam sayur ditengah lungkang sahang, dll. Sampai menjelang siang barulah
kita mandi di sungai yang tak jauh dari kebun Nenek. Airnya jernih dan banyak
ikannya. Ini adalah kegiatan yang paling saya sukai selama di kebun. Mandi.
Terkadang ada ikan yang mengigit sekujur tubuh saat berendam, bahkan ada uyep (udang air tawar) yang menghampiri
kaki saya yang dekil karena bermain dengan tanah. Selesai mandi terkadang Nenek membawa ikan yang
ternyata sudah ditajur/rawai dari sore kemarin. Macam-macam ikan yang didapat, gabus, kiong, kelik/lele,
baong, dll. Ikan itu langsung dimasak dengan bumbu-bumbu yang ditanam di kebun. Cabe, kunyit,
lengkuas, jahe, kencur, keladi, kucai, terong, dll ditanam di tengah-tengah
lungkang pohon sahang atau pinggir kebun.
Disiang hari,
kami makan siang dengan lahap. Lempah ikan hasil tajur/rawai plus sayuran khas
hasil kebun Nenek. Mantap!. Selesai makan dan sholat zuhur, Nenek istirahat
siang. Nenek melarang saya untuk banyak beraktivitas di tengah hari. Apalagi ke
sungai. Tak boleh jauh-jauh dari pondok kebun. Aktivitas di sinag hari banyak
mendatangkan bala’ (celaka). Bermain di sungai di tengah hari bisa “dibunyi” hantu. Hehehee... itulah khas-nya
cerita Nenek yang membuat saya terhipnotis percaya begitu saja. Jadi, pastilah
saya mengikuti petuah Nenek. Takut “dibunyi” hantu. Padahal tujuannya agar saya
istirahat di pondok kebun sembari Nenek istirahat. Hehehee... Menjelang jam
14.00 barulah Nenek kembali melanjutkan pekerjaan di kebun hingga sore. Selesai
dari kebun kembali mandi lagi di sungai. Yeeyyyy!. Itulah kebahagiaan anak
kecil bagi saya waktu itu di kebun Nenek. Selesai mandi tak lupa Nenek memasang
tajur kembali. Siapa tahu beruntung, bisa masak lempah kuning lagi untuk besok.
Setelah sholat Asar dan berkemas, membawa keladi, terong dan bumbu-bumbu dari
kebun, kami kembali
pulang ke kampung. Indahnya kenangan di kebun kampung kala itu. Kehidupan orang Babel yang “Dak Kawa
Nyusah”.
Bagi kami
orang Babel, hidup Dak Kawa Nyusah adalah hidup bersahaja. Makan cukup, ada
rumah untuk berteduh, badan sehat, Alhamdulillah. Apakah Nenek saya pemalas? Apakah
tetangga-tetagganya pemalas? Bahkan beberapa tetangga yang punya kebun karet
setelah sholat subuh langsung “ngaret” dengan gaya khas.
Jalan mundur. Setelah itu baru ke kebun sahang.
Dampak dari Dak
Kawa Nyusah adalah alam termanfaatkan dengan optimal. Digunakan sesuai dengan
kebutuhan. Tidak serakah menggarap lahan. Sungai tetap bening dan ikan
melimpah. Alam terjaga kelestariannya. Ketika nilai-nilai kearifan lokal “Dak
Kawa Nyusah” berubah menjadi “Pemalas”, orang akhirnya berbondong-bondong
serakah menggarap alam. Kebun kurang luas sehingga hutan dibabat. Sungai
dirusak untuk menguras isinya.
Lahan yang sudah ditanami kembali ditambang. Dsb.
Istilah Dak
Kawa Nyusah menurut saya mirip dengan istilah “seméléh” dalam bahasa Jawa yang
artinya ikhlas dan bersyukur. Atau bisa juga “sak Madyo” yang maknanya hidup
secukupnya, tidak berlebihan. Kita sepertinya semakin terseret oleh arus
materialistis dan meninggalkan kearifan lokal hidup bersahaja, secukupnya. Hal
yang paling menyedihkan adalah kita sebagai masyarakat Babel mengakui begitu saja bahwa kita “Pemalas”
dengan ditujukan sebagai orang “Dak Kawa Nyusah”.
So, come on! Pak pejabat yang terhormat
di daerah ini. Berhentilah menunjuk dan menuduh masyarakat Babel “Pemalas” dengan ungkapan “Dak Kawa Nyusah” terhadap
program-program gagal Anda kepada masyarakat. Jangan-jangan Anda sendiri yang “Dak
Kawa Nyusah”, kurang kreatif memahami masyarakat. Menggali budaya dan mendalami
kondisi masyarakat lalu merumuskan rekayasa sosial yang lebih aplikatif.
Sehingga program-program Anda lebih dapat diterima. Sedikit orang Babel yang
seharian di warung kopi, ngobrol tak penting, atau memang yang dasarnya tak mau berusaha, lantas bukan
berarti semua masyarakat Babel disebut “Pemalas” dengan versi Anda.
“Susah orang Babel maju selama bermental Dak Kawa Nyusah!”. Lho? Buktinya banyak orang Babel
di perantauan yang sukses di luar Babel dan mampu bersaing? Memangnya tidak ada
orang Babel yang sukses di kampungnya, Babel? Banyak!. Hasil beberapa
penelitian tentang sosial budaya masyarakat Babel menunjukkan bahwa masyarakat
Babel sebenarnya siap untuk menerima program-program baru yang lebih maju.
Banyak kok contohnya. Jika memang pemerintah tak mampu mendampingi masyarakat
dalam pelaksanaan programnya, khan bisa bekerjasama dengan organisasi
masyarakat lokal, tokoh agama atau tokoh masyarakat langsung. Jangan-jangan Anda
yang serakah ingin bekerja sendiri tanpa mau berbagi?
Dak Kawa
Nyusah bagi saya adalah tidak mau untuk melakukan hal-hal yang negatif. Dak
Kawa Nyusah membicarakan kekurangan orang lain. Dak Kawa Nyusah korupsi (untuk
pak Pejabat). Dak Kawa Nyusah nyontek (untuk adik-adik pelajar dan mahasiswa),
dll. Yang terpenting, Dak Kawa Nyusah adalah bagian dari daerah ini. Ia
bukanlah aib. Ia adalah bagian dari kearifan lokal kita. Hidup bersahaja; makan
cukup, ada rumah berteduh, badan sehat, Alhamdulillah.
![]() |
Menikmati kehidupan dak kawa nyusah. makan dikelilingi terumbu karang |
Oleh Indra Ambalika Syari, S.Pi, M.Si bin H. Syarnubi, S.Pd
Wakil ketua Yayasan
Sayang Babel Kite
keren tulisan e Indra, mengena, setuuju kek artikel e ni, salam dari http://www.bangkabelitungblog.com/
BalasHapusmakasih bang.. asal tulis bae sebener e bang. yang penting nulis. so, pasti banyak bener yang dak EYD n kalimat2 e dak teratur. yang penting mencoba mencurahkan isi hati, hehehe..
BalasHapusSampai sekarang tulisannye agik relate bang, tapi mungkin perlu dibuat tulisan ilmiah mengenai filosofi "dak kawa nyusah" ini yang sampai sekarang lum ade asal usul hingga makna asli dari penuturnye
BalasHapus