Apalah saya ini, bukan ahli
pertanian kok berani-beraninya mengkritisi kebijakan masalah pertanian. Saya
memang bukan basic dari bidang pertanian, meskipun kuliah di Institut Pertanian
Bogor. Ada kata-kata “pertanian”nya
lho. Namun tulisan ini adalah hasil
pelajaran, pengalaman, realita lapangan dan obrolan dengan kawan-kawan yang
mayoritas berdasar dibidang lingkungan dan pertanian.
Bangka Belitung (babel) saat ini
sedang marak program pencetakan sawah. Yang paling terkenal di Pulau Bangka
adalah Kabupaten Bangka Selatan yang dari dulu (zaman orde baru dengan program
transmigrasi) telah memulainya. Di beberapa desa transmigrasi, program ini
terbilang berhasil. Meskipun “keberhasilan” itu harus tetap dievaluasi. Saya
pernah berkunjung ke Desa Sidoharjo Kecamatan Air Gegas Kabupaten Bangka
Selatan. Kepala desa dan sebagian masyarakat sendiri yang bercerita, program
percetakan sawah banyak ditinggalkan masyarakat. Hanya sebagian kecil saja yang
masih bertahan menggarap sawah. Sebagian besar telah berhenti bertanam padi.
Berpindah menjadi penambang timah, berkebun sahang (merica/lada), sawit, karet,
berdagang, dll. Meskipun sudah mendapat bantuan bibit dan pupuk. Alasannya
klasik dan saya rasa pengambil kebijakan sudah lama mengetahuinya. Mereka yang
berasal dari Jawa saja banyak yang berhenti. Bermental rantau dan pengalaman
bersawah. Apalagi dengan desa penduduk lokal yang bermental “dak kawa nyusah”.
Yang sering dilontarkan oleh pejabat-pejabat ketika mengevaluasi kegagalan
program mereka.
Teringatlah saya ketika dulu
kuliah, ada pertemuan di Gedung Pertemuan Rektorat IPB. Gedung Andi Hakim
Nasution (AHN). Tahun 2011, saya lupa
tanggal dan bulannya. Acara pertemuan dengan Gubernur Maluku yang dianggap
berhasil membangun Maluku selama 2 periode kepemimpinannya. Seorang veteran TNI
yang bertangan dingin membangun Provinsi Kepulauan Maluku. Saya berkesempatan
mengikuti acara tersebut bersama dosen-dosen di lingkungan IPB karena saat itu
sedang mengikuti program magang dosen DIKTI sekaligus kuliah S2. Banyak pujian
yang dilontarkan atas keberhasilan sang Gubernur.
Dari sekian banyak pujian, ada
satu kritikan membangun diberikan oleh seorang profesor. Saya lupa siapa
namanya. Orang Asli Ambon, sudah tua mendekati sepuh, Dosen senior di IPB.
Meskipun sudah tua, dengan berapi-api beliau menyatakan pendapatnya. Dia
bernyanyi lagu lokal Ambon, hanya sedikit lirik, namun dalam lirik lagu itu
ternyata ada nama tanaman yang saat ini tanaman tersebut banyak ditebang. Saya
lupa nama tanaman yang disebutnya. Padahal tanaman itu memiliki akar yang kuat
untuk menahan tanah. Hilangnya tanaman tersebut membuat laju erosi di Ambon
semakin tinggi dan sedimentasi. Ada kearifan lokal dalam lirik lagu itu yang
banyak dilupakan untuk menjaga tanaman tersebut akibat arus budaya materialistis
saat ini. Wuuiiihhh.... dari lagu saja ternyata tersirat kearifan lokal yang
luar biasa.
Kemudian pak profesor melanjutkan
lagi, dulu masih banyak hutan-hutan Rumbiya yang sekarang tinggal cerita.
Rumbiya-rumbiya tersebut banyak ditebang namun tidak ditanami lagi. “Kita hanya mengambilnya untuk diambil sagu
dan dibuat papeda”. Tapi lupa menjaga kelestariannya dengan menanam kembali
rumbiya-rumbiya kita. Yang paling menyedihkan, hutan-hutan rumbiya kita banyak
yang hilang akibat pencetakan sawah yang sudah dimulai dari masa orde baru.
Masyarakat kita seperti dipaksa memakan nasi yang sebenarnya bukan berasal dari
budaya kita. “Kita orang Ambon, nenek
moyangnya makan sagu”. Makan papeda. Bukan nasi. Tapi program ini
(pencetakan sawah) pemerintah pusat paksa dan kita di daerah menerima sehingga
banyak hutan-hutan Rumbiya kita tinggal cerita.
Percetakan sawah di Babel sedang
marak. Isu ketahanan pangan menjadi dasarnya. Di Kabupaten Bangka Selatan saja
luasannya mencapai sekitar 15.000 ha. Beberapa desa di Kabupaten Bangka, Bangka
Barat dan Bangka Tengah pun mencetak sawah-sawah baru. Desa-desa di Kabupaten Belitung dan Belitung Timur
pun sama. Sebagai contoh di Desa Balunijuk Kabupaten Bangka, tempat dimana saya
tinggal saat ini saja ada sekitar 300 ha pencetakan sawah. Di Desa Delas Kabupaten Bangka Selatan ada
500an ha rencana pencetakan sawah. Luasannya berbeda-beda tiap desa. Tidak
semua desa dicetak sawah. Tapi jumlah desa yang mendapat jatah cetak sawah
cukup banyak. Program yang juga dibantu oleh TNI dalam pelaksanaannya. Mungkin
ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan negara. Saya tak tahu percis
berapa total luasan pencetakan sawah di Bangka Belitung. Yang pasti puluhan
ribu hektar. Dana pencetakan sawah pun tidak sedikit tentunya. Ratusan milliar.
![]() |
Foto percetakan sawah di desa Balunijuk, kecamatan Merawang Kabupaten Bangka Mei 2017 |
Berita-berita keberhasilan dari
program pencetakan sawah baru pun sempat bertebaran. Sekian ton per hektar
hasil gabahnya. Panen perdana oleh Pak Bupati bahkan Pak Gubernur yang
terhormat. Wuuiiiihhh... Babel tak perlu
import beras lagi dong dari Jawa dan Sumatera. Babel swasembada beras.
Benarkah??? Awal-awalnya (sampai sekitar 3 tahun-an) hasil gabah memang oke.
Tapi selanjutnya? Tanaman padi banyak yang terkena hama, kesuburan tanah kendor
sehingga perlu digenjot dengan pupuk lebih banyak. Dampaknya, biaya produksi
meningkat. Makanya, menanam padi tidak bisa dengan modal kere. Belum lagi pengairan yang tidak jelas. Di musim hujan
kebanjiran, di musim kemarau kekeringan. Kegagalan yang bertubi-tubi akhirnya
membuat lahan cetak sawah dibiarkan masyarakat.
Kegagalan model seperti ini
sebenarnya bukan barang baru. Sudah beberapa kali waktu dan daerah lain
terjadi. Akhirnya terkesan yang penting “proyek” percetakan sawah. Terserah
hasilnya seperti apa, yang penting dana dari pusat untuk pencetakan sawah
terserap. Jika akhirnya tidak dimanfaatkan masyarakat dikemudian hari, para
pejabat tinggal curhat dan cenderung menyalahkan masyarakat Babel yang “dak
kawa nyusah”. Owalaaah.. zaman sudah modern masih gampang nyalahin masyarakat
atas kegagalan program yang “bertubi-tubi”. Enggak belajar dari kegagalan
sebelumnya ya? Keledai saja cukup dua kali jatuh pada lubang yang sama.
Seorang teman yang kuliah di
jurusan pertanian (agronomi) di sebuah universitas ternama di Jogjakarta pernah
bercerita kepada saya, “Kalo di Jawa,
sawah dicetak hingga di tebing-tebing bukit, yang penting air masih bisa
mengalirinya. Lha, di sini (Babel), daerah resapan air (dataran rendah, rawa,
dan sekitar aliran sungai) dicetak jadi sawah”. Bisa ditebak, saat musim
hujan dengan intensitas tinggi maka daerah percetakan sawah akan terendam air.
Rusaknya daerah resapan air malah membuat terjadinya genangan air hingga
kebanjiran. Terbukti pada banjir awal tahun 2016 yang bertepatan dengan imlek
saat itu hingga melumpuhkan kota pangkalpinang, desa-desa yang baru dicetak
sawah seperti Kelumbi, Buyan, Beruas, Labu, Kimak, dll. Jalannya tergenang air bahkan
ada yang putus di daerah yang berdekatan dengan percetakan sawah. Masih memungkiri?.
Ironisnya, lahan-lahan yang telah
dicetak sawahnya menyisakan tunggul-tunggul kayu yang “teberacai”. Pohon-pohon
yang rindang dan besar terlanjur dibabat demi mimpi percetakan sawah. Butuh
bertahun-tahun untuk mengembalikannya lagi. Daerah resapan air adalah daerah
penting dengan tingkat keanekaragaman tinggi dan vital bagi biota didalamnya.
Baik ikan, burung, satwa liar, dll. Ayo dong pak pejabat di Babel yang
terhormat, buatlah program yang lebih bijak dan berkelanjutan. Jangan
memaksakan keinginan pusat yang belum tentu sesuai dengan daya dukung dan daya
tampung daerah ini.
Kembali Kepada Kearifan Lokal Babel
Akhirnya, marilah kita bertanya
bersama, Apakah nenek moyang kita di Babel dulu makan nasi? Mengapa nenek
moyang kita tidak bersawah seperti di Jawa? Belajarlah kembali ke sejarah agar
kita dapat menggali kearifan lokal daerah ini sehingga membuahkan program
daerah yang lebih arif. Istilah kerennya, program membangun daerah berbasis
kearifan lokal. Supaya programnya lebih realistis dan berkelanjutan. Jangan
paksa memasukkan program yang berhasil di luar tetapi belum tentu sesuai
diterapkan di daerah kita.
Nenek moyang kita sehari-hari
makan singkong. Hanya terkadang saja makan nasi. Nenek moyang kita memang
bertanam padi. Tapi bukan padi sawah. Hanya waktu-waktu tertentu saja menanam
padi. Saya yakin banyak pejabat daerah yang mengerti ini. Pertanyaannya
sekarang mengapa kita paksakan generasi ini untuk makan beras sehingga akhirnya
beras menjadi penyumbang inflasi di Babel?. Mengapa kita tidak focus
mengembangkan variasi produk makanan sampingan dari singkong? Sudah sangat
banyak jenis makanan yang dihasilkan dari singkong di Babel. Contoh yang paling
mudah adalah “keroket”. Kue sederhana, berbahan dasar singkong rebus.
Didalamnya ada irisan pepaya mengkel dicampur
udang kering (ebi) atau ikan giling. Lengkap sudah dari sisi gizi. Karbohidrat
dari singkong. Vitamin dari Pepaya. Protein dari Udang atau Ikan. Saya lebih
suka menyebut “keroket” dengan gaya anak muda “Burger Bangka”. Karena sama
seperti komposisi burger; karbohidrat, protein dan sayur. Focus saja
mengangkat gengsi makanan berbahan
singkong sehingga generasi kita lebih bangga makan singkong daripada ayam
goreng krispi.
Daripada sibuk dengan percetakan
sawah yang menghabiskan banyak anggaran dan daerah resapan air. Jauh lebih baik
mencetak lahan berkebun singkong dengan sistem tumpang sari. Bayangkan, bila
setiap Kepala Keluarga (KK) di desa memiliki setengah hektar kebun singkong.
Yang dibagi dalam tiga periode tanam. Maka, hasil panen singkong dapat
dikonsumsi keluarga hingga mengurangi minimal satu per tiga (sepertiga_red)
dari konsumsi beras keluarga. Nilai ini jauh lebih efektif dalam mengurangi
konsumsi beras. Jika standar kebutuhan per kapita beras adalah satu kuintal per
tahun, berapa banyak konsumsi beras yang dapat dikurangi. Inilah ketahanan
pangan yang lebih realistis menurut saya. Bener nggak sih?
Aaahhh.. tapi di daerah ini
mungkin pencitraan dan ceremony lebih dipentingkan. Saya mungkin orang guoblok,
sontoloyo, bukan ahlinya. Jadi enggak pelu lah ide guoblok dan sontoloyo saya
untuk dipikirkan oleh Bapak/Ibu Pejabat pengambil keputusan di daerah ini.
Sebagai bagian dari masyarakat, kita tentu tak boleh pesimis menjalani hidup
yang singkat di dunia ini. Jadi, marilah berdoa semoga kebijakan yang dibuat di
daerah lebih arif berdasar kearifan lokal. Hallaaahhhh...
Oleh Indra Ambalika Syari, S.Pi, M.Si bin H. Syarnubi, S.Pd
Wakil Ketua Yayasan
Sayang Babel Kite
0 komentar:
Posting Komentar