Breaking News
Loading...
Jumat, 26 Mei 2017



Apalah saya ini, bukan ahli pertanian kok berani-beraninya mengkritisi kebijakan masalah pertanian. Saya memang bukan basic dari bidang pertanian, meskipun kuliah di Institut Pertanian Bogor.  Ada kata-kata “pertanian”nya lho.  Namun tulisan ini adalah hasil pelajaran, pengalaman, realita lapangan dan obrolan dengan kawan-kawan yang mayoritas berdasar dibidang lingkungan dan pertanian. 

Bangka Belitung (babel) saat ini sedang marak program pencetakan sawah. Yang paling terkenal di Pulau Bangka adalah Kabupaten Bangka Selatan yang dari dulu (zaman orde baru dengan program transmigrasi) telah memulainya. Di beberapa desa transmigrasi, program ini terbilang berhasil. Meskipun “keberhasilan” itu harus tetap dievaluasi. Saya pernah berkunjung ke Desa Sidoharjo Kecamatan Air Gegas Kabupaten Bangka Selatan. Kepala desa dan sebagian masyarakat sendiri yang bercerita, program percetakan sawah banyak ditinggalkan masyarakat. Hanya sebagian kecil saja yang masih bertahan menggarap sawah. Sebagian besar telah berhenti bertanam padi. Berpindah menjadi penambang timah, berkebun sahang (merica/lada), sawit, karet, berdagang, dll. Meskipun sudah mendapat bantuan bibit dan pupuk. Alasannya klasik dan saya rasa pengambil kebijakan sudah lama mengetahuinya. Mereka yang berasal dari Jawa saja banyak yang berhenti. Bermental rantau dan pengalaman bersawah. Apalagi dengan desa penduduk lokal yang bermental “dak kawa nyusah”. Yang sering dilontarkan oleh pejabat-pejabat ketika mengevaluasi kegagalan program mereka.

Teringatlah saya ketika dulu kuliah, ada pertemuan di Gedung Pertemuan Rektorat IPB. Gedung Andi Hakim Nasution (AHN).  Tahun 2011, saya lupa tanggal dan bulannya. Acara pertemuan dengan Gubernur Maluku yang dianggap berhasil membangun Maluku selama 2 periode kepemimpinannya. Seorang veteran TNI yang bertangan dingin membangun Provinsi Kepulauan Maluku. Saya berkesempatan mengikuti acara tersebut bersama dosen-dosen di lingkungan IPB karena saat itu sedang mengikuti program magang dosen DIKTI sekaligus kuliah S2. Banyak pujian yang dilontarkan atas keberhasilan sang Gubernur. 

Dari sekian banyak pujian, ada satu kritikan membangun diberikan oleh seorang profesor. Saya lupa siapa namanya. Orang Asli Ambon, sudah tua mendekati sepuh, Dosen senior di IPB. Meskipun sudah tua, dengan berapi-api beliau menyatakan pendapatnya. Dia bernyanyi lagu lokal Ambon, hanya sedikit lirik, namun dalam lirik lagu itu ternyata ada nama tanaman yang saat ini tanaman tersebut banyak ditebang. Saya lupa nama tanaman yang disebutnya. Padahal tanaman itu memiliki akar yang kuat untuk menahan tanah. Hilangnya tanaman tersebut membuat laju erosi di Ambon semakin tinggi dan sedimentasi. Ada kearifan lokal dalam lirik lagu itu yang banyak dilupakan untuk menjaga tanaman tersebut akibat arus budaya materialistis saat ini. Wuuiiihhh.... dari lagu saja ternyata tersirat kearifan lokal yang luar biasa. 

Kemudian pak profesor melanjutkan lagi, dulu masih banyak hutan-hutan Rumbiya yang sekarang tinggal cerita. Rumbiya-rumbiya tersebut banyak ditebang namun tidak ditanami lagi. “Kita hanya mengambilnya untuk diambil sagu dan dibuat papeda”. Tapi lupa menjaga kelestariannya dengan menanam kembali rumbiya-rumbiya kita. Yang paling menyedihkan, hutan-hutan rumbiya kita banyak yang hilang akibat pencetakan sawah yang sudah dimulai dari masa orde baru. Masyarakat kita seperti dipaksa memakan nasi yang sebenarnya bukan berasal dari budaya kita. “Kita orang Ambon, nenek moyangnya makan sagu”. Makan papeda. Bukan nasi. Tapi program ini (pencetakan sawah) pemerintah pusat paksa dan kita di daerah menerima sehingga banyak hutan-hutan Rumbiya kita tinggal cerita.

Percetakan sawah di Babel sedang marak. Isu ketahanan pangan menjadi dasarnya. Di Kabupaten Bangka Selatan saja luasannya mencapai sekitar 15.000 ha. Beberapa desa di Kabupaten Bangka, Bangka Barat dan Bangka Tengah pun mencetak sawah-sawah baru.  Desa-desa di Kabupaten Belitung dan Belitung Timur pun sama. Sebagai contoh di Desa Balunijuk Kabupaten Bangka, tempat dimana saya tinggal saat ini saja ada sekitar 300 ha pencetakan sawah.  Di Desa Delas Kabupaten Bangka Selatan ada 500an ha rencana pencetakan sawah. Luasannya berbeda-beda tiap desa. Tidak semua desa dicetak sawah. Tapi jumlah desa yang mendapat jatah cetak sawah cukup banyak. Program yang juga dibantu oleh TNI dalam pelaksanaannya. Mungkin ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan negara. Saya tak tahu percis berapa total luasan pencetakan sawah di Bangka Belitung. Yang pasti puluhan ribu hektar. Dana pencetakan sawah pun tidak sedikit tentunya. Ratusan milliar.


Foto percetakan sawah di desa Balunijuk, kecamatan Merawang Kabupaten Bangka Mei 2017

Berita-berita keberhasilan dari program pencetakan sawah baru pun sempat bertebaran. Sekian ton per hektar hasil gabahnya. Panen perdana oleh Pak Bupati bahkan Pak Gubernur yang terhormat.  Wuuiiiihhh... Babel tak perlu import beras lagi dong dari Jawa dan Sumatera. Babel swasembada beras. Benarkah??? Awal-awalnya (sampai sekitar 3 tahun-an) hasil gabah memang oke. Tapi selanjutnya? Tanaman padi banyak yang terkena hama, kesuburan tanah kendor sehingga perlu digenjot dengan pupuk lebih banyak. Dampaknya, biaya produksi meningkat. Makanya, menanam padi tidak bisa dengan modal kere. Belum lagi pengairan yang tidak jelas. Di musim hujan kebanjiran, di musim kemarau kekeringan. Kegagalan yang bertubi-tubi akhirnya membuat lahan cetak sawah dibiarkan masyarakat. 

Kegagalan model seperti ini sebenarnya bukan barang baru. Sudah beberapa kali waktu dan daerah lain terjadi. Akhirnya terkesan yang penting “proyek” percetakan sawah. Terserah hasilnya seperti apa, yang penting dana dari pusat untuk pencetakan sawah terserap. Jika akhirnya tidak dimanfaatkan masyarakat dikemudian hari, para pejabat tinggal curhat dan cenderung menyalahkan masyarakat Babel yang “dak kawa nyusah”. Owalaaah.. zaman sudah modern masih gampang nyalahin masyarakat atas kegagalan program yang “bertubi-tubi”. Enggak belajar dari kegagalan sebelumnya ya? Keledai saja cukup dua kali jatuh pada lubang yang sama. 

Seorang teman yang kuliah di jurusan pertanian (agronomi) di sebuah universitas ternama di Jogjakarta pernah bercerita kepada saya, “Kalo di Jawa, sawah dicetak hingga di tebing-tebing bukit, yang penting air masih bisa mengalirinya. Lha, di sini (Babel), daerah resapan air (dataran rendah, rawa, dan sekitar aliran sungai) dicetak jadi sawah”. Bisa ditebak, saat musim hujan dengan intensitas tinggi maka daerah percetakan sawah akan terendam air. Rusaknya daerah resapan air malah membuat terjadinya genangan air hingga kebanjiran. Terbukti pada banjir awal tahun 2016 yang bertepatan dengan imlek saat itu hingga melumpuhkan kota pangkalpinang, desa-desa yang baru dicetak sawah seperti Kelumbi, Buyan, Beruas, Labu, Kimak, dll. Jalannya tergenang air bahkan ada yang putus di daerah yang berdekatan dengan percetakan sawah. Masih memungkiri?.

Ironisnya, lahan-lahan yang telah dicetak sawahnya menyisakan tunggul-tunggul kayu yang “teberacai”. Pohon-pohon yang rindang dan besar terlanjur dibabat demi mimpi percetakan sawah. Butuh bertahun-tahun untuk mengembalikannya lagi. Daerah resapan air adalah daerah penting dengan tingkat keanekaragaman tinggi dan vital bagi biota didalamnya. Baik ikan, burung, satwa liar, dll. Ayo dong pak pejabat di Babel yang terhormat, buatlah program yang lebih bijak dan berkelanjutan. Jangan memaksakan keinginan pusat yang belum tentu sesuai dengan daya dukung dan daya tampung daerah ini.

Kembali Kepada Kearifan Lokal Babel
 Akhirnya, marilah kita bertanya bersama, Apakah nenek moyang kita di Babel dulu makan nasi? Mengapa nenek moyang kita tidak bersawah seperti di Jawa? Belajarlah kembali ke sejarah agar kita dapat menggali kearifan lokal daerah ini sehingga membuahkan program daerah yang lebih arif. Istilah kerennya, program membangun daerah berbasis kearifan lokal. Supaya programnya lebih realistis dan berkelanjutan. Jangan paksa memasukkan program yang berhasil di luar tetapi belum tentu sesuai diterapkan di daerah kita.

Nenek moyang kita sehari-hari makan singkong. Hanya terkadang saja makan nasi. Nenek moyang kita memang bertanam padi. Tapi bukan padi sawah. Hanya waktu-waktu tertentu saja menanam padi. Saya yakin banyak pejabat daerah yang mengerti ini. Pertanyaannya sekarang mengapa kita paksakan generasi ini untuk makan beras sehingga akhirnya beras menjadi penyumbang inflasi di Babel?. Mengapa kita tidak focus mengembangkan variasi produk makanan sampingan dari singkong? Sudah sangat banyak jenis makanan yang dihasilkan dari singkong di Babel. Contoh yang paling mudah adalah “keroket”. Kue sederhana, berbahan dasar singkong rebus. Didalamnya ada irisan pepaya mengkel dicampur udang kering (ebi) atau ikan giling. Lengkap sudah dari sisi gizi. Karbohidrat dari singkong. Vitamin dari Pepaya. Protein dari Udang atau Ikan. Saya lebih suka menyebut “keroket” dengan gaya anak muda “Burger Bangka”. Karena sama seperti komposisi burger; karbohidrat, protein dan sayur. Focus saja mengangkat  gengsi makanan berbahan singkong sehingga generasi kita lebih bangga makan singkong daripada ayam goreng krispi. 

Daripada sibuk dengan percetakan sawah yang menghabiskan banyak anggaran dan daerah resapan air. Jauh lebih baik mencetak lahan berkebun singkong dengan sistem tumpang sari. Bayangkan, bila setiap Kepala Keluarga (KK) di desa memiliki setengah hektar kebun singkong. Yang dibagi dalam tiga periode tanam. Maka, hasil panen singkong dapat dikonsumsi keluarga hingga mengurangi minimal satu per tiga (sepertiga_red) dari konsumsi beras keluarga. Nilai ini jauh lebih efektif dalam mengurangi konsumsi beras. Jika standar kebutuhan per kapita beras adalah satu kuintal per tahun, berapa banyak konsumsi beras yang dapat dikurangi. Inilah ketahanan pangan yang lebih realistis menurut saya. Bener nggak sih?

Aaahhh.. tapi di daerah ini mungkin pencitraan dan ceremony lebih dipentingkan. Saya mungkin orang guoblok, sontoloyo, bukan ahlinya. Jadi enggak pelu lah ide guoblok dan sontoloyo saya untuk dipikirkan oleh Bapak/Ibu Pejabat pengambil keputusan di daerah ini. Sebagai bagian dari masyarakat, kita tentu tak boleh pesimis menjalani hidup yang singkat di dunia ini. Jadi, marilah berdoa semoga kebijakan yang dibuat di daerah lebih arif berdasar kearifan lokal. Hallaaahhhh...


Oleh Indra Ambalika Syari, S.Pi, M.Si bin H. Syarnubi, S.Pd
Wakil Ketua Yayasan Sayang Babel Kite


0 komentar:

Posting Komentar