By. Aswandi As’an
Bagi kami puak Melayu pesisir, orang tua laki-laki
kami panggil dengan Bak* (hurup K dilafal dengan K seperti pada kata
Tidak). Dalam bahasa Indonesia Bak dipanggil dengan Bapak atau
Ayah. Dalam keluarga menengah perkotaan Bak sudah berubah menjadi
Papa. Bahkan di kalangan The Have Bak sudah berubah menjadi Papi
seperti yang sering kita lihat di sinetron televisi. Bagi saya Bak adalah
panggilan sederhana yang memiliki keagungan makna. Sama seperti Ka’bah yang hanya
dibuat dari batu namun memiliki nilai spiritual yang luar biasa. Bak adalah
kedekatan dan perhatian. Bak juga adalah tempat berlindung dan belajar. Bak
bermakna kekuatan dan teladan. Bak juga berarti kesabaran dan keuletan.
Gambar 1. Nelayan yang Pulang menangkap Udang
Usai sholat Ashar sore itu, Bak memanggul belacan buatannya
ke toko Haji Seman. Belacan itu adalah hasil tangkapannya selama seminggu ini.
Pada musim angin teduh seperti sekarang Bak menangkap anak-anak udang.
Bak mendorong sungkur* di perairan dangkal laut kampung
kami untuk menangkap anak-anak udang. Udang-udang hasil tangkapan itu
kemudian dijemur hingga kering. Lalu ditumbuk dalam lesung khusus yang
terbuat dari kayu. Hasil tumbukan itulah menjadi belacan atau terasi. Belacan
itu dipadatkan dan dibentuk bulat untuk memudahkan membawanya ke pembeli.
Pembelinya adalah semua pemilik warung yang ada di kampung kami. Belacan
yang mereka kumpulkan dari para nelayan mereka jual lagi ke kampung dan luar
pulau. Belacan buatan Bak dan nelayan kampung kami sangat terjaga keasliannya.
Satu ekorpun anak ikan tidak boleh tercampur. Maka belacan buatan Bak
memiliki aroma khas bukan bau busuk yang menyengat.
”Cuma 28 kilo setengah. Sekarang harganya turun karena banyak belacan dari
seberang,” kata Haji Seman usai menimbang belacan itu.
”Jadi sekarang berapa harganya, Ji?” Bak bertanya.
”1.800, turun 200 rupiah dari minggu lalu,” jawab Haji Seman.
”Ambil uang atau barang?” Haji Seman bertanya. Biasanya nelayan kampung kami
langsung membeli barang kebutuhan sehari-hari setelah menjual belacan.
Kadang-kadang belacan itu hanya cukup untuk membayar hutang
kebutuhan selama satu minggu ini.
”Yang ini ambil uang semua dululah. Untuk beras dan gula kopi ngutang dulu Ji,”
jawab Bak.
”Kalau sudah ngambil uang, barang nggak usah ngambil lagi. Kecuali bayar dulu
utang minggu lalu,” Haji Seman menjawab ketus. Bak terdiam. Di benaknya
ada dua pilihan sulit. Antara ngambil barang kebutuhan atau uang. Barang
kebutuhan itu sangat dibutuhkan keluarganya. Tapi dibenaknya terbayang
dua orang anak laki-lakinya yang sedang sekolah di Jawa. Dua hari lalu surat
salah satu anaknya tiba dan mengabarkan perlu uang untuk KKN. Sehari sebelumnya
surat anaknya yang lain juga meminta segera dikirim uang bulanannya. Sementara
istri dan lima anaknya menunggu di rumah. Bak kemudian pulang setelah
memutuskan untuk mengambil uang saja.
Gambar 3. Proses Pengeringan Udang yang dilakukan Warga
Di depan pintu Bak masuk dengan senyum khasnya. Tidak ada terbersit wajah susah
ataupun sedih. Wajah yang senantiasa mengguratkan kegembiraan. Senyum yang
menyiratkan harapan dan cita-cita yang tak pernah mengenal kata menyerah
dan putus asa. Ketika Mak bertanya tentang barang-barang kebutuhan itu
Bak dengan tenang menjelaskan.
”Uang belacan itu tidak cukup bila kita ngambil barang dan uang sekaligus.
Hanya 28 kilo setengah. Harganya pun turun 200 rupiah dari minggu lalu. Haji
Seman tidak membolehkan ngambil barang sebelum melunasi hutang minggu lalu.
Kita perlu uang untuk Wan dan Dan,” Bak menjelaskan dengan tenang.
”Untuk minggu ini kita pinjam beras ke tetangga dululah. Kalau tidak, nanti Bak
akan menumbuk padi sisa benih huma tahun lalu,” jawab Bak tanpa beban.
Selain sebagai nelayan Bak juga biasa bercocok tanam. Pada awal musim
hujan dia berladang dengan menanam padi tadah hujan. Lahan bekas
huma itu kemudian ditanami karet, durian atau pohon keras lainnya.
Menyadap karet adalah ketrampilan Bak yang lain. Bila musim angin kencang dan
paceklik Bak menyadap karet untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Usai menyadap
karet dia menyiangi kebun ladanya yang terletak di sebelah kebun karetnya. Lada
adalah salah satu komoditi andalan warga kampung kami. Namun sejak
tambang timah marak lada hampir dilupakan. Apalagi harganya yang jauh menurun
sejak beberapa negara Asia dan Amerika Latin sudah berhasil mengembangkan
komoditi ini.
Menjelang usianya yang ke-61, Bak mengalami pembekakan pada
lutut kanannya. Tidak jelas apa sebabnya. Bak menganggap sakit lututnya itu
adalah akibat keseleo saat dia bermain bola pada masa mudanya. Berjalan
pincang bukan alasan baginya untuk berdiam diri. Dia tetap pergi ke ladang
seperti biasa. Dengan berbekal sebatang tongkat Bak terus menyadap karet.
Bila lelah dia istrahat dengan duduk bersandar di pohon karet. Usai menyadap
dia menyiangi kebun lada seperti biasa. Hanya kini pekerjaan sebagai
nelayan sudah dia tinggalkan. Melihat kondisinya itu banyak orang menasehati
supaya dia lebih banyak beristirahat.
”Pekerjaanku belum selesai,” jawab Bak singkat dengan senyum khasnya.
Biasanya jawaban itu tidak membuat orang bertanya lebih lanjut. Karena
orang di kampung mafhum apa yang dimaksud . Belum selesai karena masih
ada anaknya yang masih sekolah. Bak memang pernah dikata gila oleh
sebagian orang kampung. Gila karena kenekatannya untuk menyekolahkan
anak-anaknya ke luar pulau. Bahkan beberapa orang mencibir bila Bak lewat.
Cerita Bak tentang cita-citanya untuk menyekolahkan semua anaknya dianggap
sebagai omong kosong. Tapi Bak tetap tersenyum seolah tidak mendengar semua
cemooh dan ejekan itu.
Pagi itu teleponku berdering. Saat itu aku masih menyiapkan
rundown untuk berita siang. Sebagai field produser televisi
aku bertanggung jawab mengawasi peralatan dan tim yang bertugas untuk
berita siang itu.
”Wan, cepat segera ke kampung..!” suara Cik Rosman tetangga kami di kampung.
”Memangnya ada apa..? tanyaku agak kaget.
”Pokoknya cepat. Bak tengah sakit keras,” Cik Rosman menjawab dengan nada
cemas.
Menjelang Isya aku tiba di rumah. Penerbangan selama 3
jam dan perjalanan darat selama 2 jam tidak membuatku lelah. Yang ada
dalam pikiranku hanya Bak yang tengah terbaring lemah. Dan benar begitu aku
masuk kulihat Bak tengah terbaring dikelilingi oleh Mak dan adik-adikku. Mak
duduk di sisi kanan Bak. Melihat kedatanganku Bak tersenyum dan seolah
lupa dengan sakit yang dideritanya. Akupun memegang tangan dan mencium
tangannya yang keriput. Tangannya yang dulu sangat perkasa memegang dayung
menerjang ombak dan gelombang hidup.
”Ne... Wan, Bak!” kataku singkat. Bak tidak menjawab. Dia
terlihat agak kepayahan dan berupaya untuk duduk bersandar. Dua butir air
bening luruh dari sudut matanya namun tetap dengan bibir yang tersenyum. Aku
sangat hafal dengan karakter Bak. Air mata itu adalah air mata gembira. Sebab
kalau dia sedang sedih Bak tidak pernah menunjukkan kepada orang lain apalagi
sampai menangis.
”Adik Dan Ke, mana?” Kata Bak tiba-tiba menanyakan
adikku Hamdani. Bak selalu memanggil kami dengan nama kecil kami. Adikku
Hamdani dipanggil Dan. Aku sendiri dipanggil Wan, suku kata di tengah namaku.
Setelah menyelesaikan kuliahnya Hamdani menetap di Cirebon. Dia mengajar di
pesantrennya dulu, mengikuti pesan Bak agar ia tetap mengajar. Pekerjaan
pokoknya adalah usaha percetakan yang dikelola bersama istrinya.
”Agik dudi. Tadi kami dek sepesawat. Suat agik nya ateng”,
jawabku. Bak terlihat sumringah mendengar anak nomor tiganya itu segera
tiba.
Pagi itu Bak memanggilku dan adikku Hamdani. Dia kelihatan
lebih segar dari sebelumnya.
”Bak nek
berumong kek ikak urang due ne,” kata Bak begitu kami duduk.
”Bak, lah
mulai sihat. Bak dek nek kalok ikak lama igek sinik. Bak tau ikak banyek gawi,
tanggung jawab dan segale macem tugas laen,” Bak berhenti sejenak menarik
napas dalam-dalam lalu menghembusnya seolah melepas beban.
”Asa a waktu
Bak ne lah dek lama agik. Lah waktu a Bak kek pulang.” Bak berkata
datar dan tenang sembari memandang kami bergantian. Aku terus menahan emosi.
Namun tak urung air mata tak bisa dibendung. Sejak kami kecil hingga
sekarang Bak tidak pernah bicara seserius ini. Adikku Hamdani sejak tadi
sudah sesenggukan menahan sedih.
”Ngapa
Bak berumong nak ya..” tanyaku.
”Mimang
nak yalah nek a. Kodrat manusia ya selalu nek pulang ke lapang demini
nya ngasa seneng. Pulang kumah, pulang kampong dan pulang ke Rahmatullah.
Tapi kadang-kadang kita takot pulang karena ngasa sangu dek cukop. Ade nyeng
takot pulang karena takot degaduh urang umah. Men kita ngasa dek salah dan ade
kek debawek pulang ngapa haros takot..? Apa agik selama ne kita selalu muat
urang umah ngasa rindu nek ketempoh kek kita,” Bak memberi
pelajaran.
”Bak
bepesen, semayang jangan detinggal. Teroslah bedu’o kek Bak-Mak ikak.
Enggak ya lah Bak arep men Bak lah dek gik,” Bak menghentikan
bicaranya. Kami terdiam terpaku. Aku sendiri berupaya tegar dan
mencamkan semua ucapan Bak sore itu.
Dua bulan dari pertemuan dengan Bak sore itu, aku mendapat
kabar bahwa Bak telah berpulang. Kabar itu kuterima ketika aku berada di kaki
gunung Merapi saat gunung itu bergolak.
”Kami ne
agik nunggun Ke lah ne,” Cik Mat bicara di ujung telepon.
”Laksanakan
fardlu kifayah secepat a Cik, Karena Bak lebih ingen nak ya daripada nunggun Ko
ateng,” jawabku memutuskan.
Menjelang isya aku baru tiba di rumah. Atok Hasyim,
Penghulu kampung kami baru saja usai membaca doa penutup tahlil. Dengan
mengenakan sarung dan songkok peninggalan Bak, saya berdiri di depan
jemaah tahlil. Sebagai anak tertua saya mewakili keluarga untuk menyampaikan
berbagai hal tentang Bak semasa hidupnya. Permohonan maaf atas segala kesalahan
yang telah Bak perbuat termasuk masalah utang-piutang jika masih ada yang
terlewat. Malam itu saya juga menceritakan perjalanan Bak menyekolahkan
anak-anaknya. Bak memang tidak sampai kelas tiga SD tetapi justru itu yang
melecutnya untuk bertekad agar anak-anaknya tidak bernasib sama dengannya.
Seminggu setelah nujuh hari Bak,
saya masih di kampung menemani dan menghibur Mak. Saya masih menyempatkan
hadir dalam pertemuan warga. Dua kubu warga kampung berdebat tentang rencana
kedatangan dua unit kapal isap yang akan beroperasi di laut kampung. Pak Lurah
dengan gigih meyakinkan warga bahwa kapal itu akan memberikan kesejahteraan
untuk warga kampung.
”Selama ini...
belum beroperasi saja pemilik kapal itu sudah sering memberi beras dan sapi ke
untuk warga kampung ini. Apalagi kalau kapal itu sudah jalan. Akan ada
uang fee untuk pembangunan kampung ini” Pak Kades bersemangat
”Darimana
Pak Kades yakin bahwa kita akan mendapatkan fee. Bagaimana cara pembagiannya?
Siapa yang akan mengawasi? Tidak jelas! Dalam situasi seperti ini kita hanya
akan jadi korban dan setelah kapal itu pergi kitalah yang akan
menanggung segala kerusakan lingkungan yang ditinggalkannya,” Sulai berkata
sengit. Perdebatan kemudian makin tidak imbang. Pak Kades di pihak yang pro mendapat
dukungan dari tokoh-tokoh kampung yang selama ini ikut menikmati bantuan Si
Tauke pemilik kapal isap itu.
Gambar 5. Kapal Isap yang Sedang Beroperasi Di Wilayah Pesisir
Pro Kontra kapal isap itu telah lama memecahkan belah warga
kampung. Mayoritas warga sebenarnya tidak setuju dengan kapal itu. Namun mereka
memilih diam dan menghindari konflik dengan tokoh-tokoh kampung yang dimotori
Kades. Sekelompok anak muda yang dipimpin Sulai menentang rencana itu. Mereka
menganggap Kades tidak memihak warga. Apalagi selama ini lahan-lahan tidur di
kampung sudah banyak yang dilego oleh Kades dan orang-orangnya. Masukan dari
banyak pihak kepada Kades untuk menghentikan rencana kapal isap itu sudah tidak
mempan. Karena sudah terlalu banyak umpan Tauke itu yang ditangkap oleh Kades.
Dan kini saatnya Si Tauke menarik tali pancingnya.
Sedari awal saya hanya diam saja melihat polah Kades
bersilat kata melawan warganya sendiri. Sejak awal dia sudah menunjukkan sikap
tidak senang dengan kehadiranku di majelis itu. Dia tahu selama ini saya
selalu menentang banyak keinginannya. Sampai akhirnya saya diminta Sulai untuk
berbicara.
” Saya tidak ada
urusan dengan kapal isap itu. Silahkan Pak Kades mau mengizinkannya. Toh saya
tidak hidup di kampung ini. Mau jual hutan, jual tanah, jual laut atau jual
kampung ini sekalian tidak urusan apapun dengan saya. Cuma satu yang saya
minta, tanah kuburan yang di ujung kampung itu jangan pernah kalian jual.
Karena itulah satu-satunya alasan saya untuk kembali ke kampung ini”
Sejenak ruangan itu hening. Masing-masing menerawang dengan
pikiran sendiri-sendiri. Malam kian larut. Sayapun pamit pergi
diringi simponi suara-suara serangga malam yang beradu memuji
kebesaranNya.
Tangsel,
Februari 2010
0 komentar:
Posting Komentar