Breaking News
Loading...
Jumat, 26 Desember 2014


By. Aswandi As’an


Bagi kami puak  Melayu pesisir, orang tua laki-laki kami panggil dengan Bak* (hurup K dilafal dengan K seperti pada kata Tidak).  Dalam bahasa Indonesia Bak dipanggil dengan Bapak atau Ayah.  Dalam keluarga menengah perkotaan  Bak sudah berubah menjadi Papa. Bahkan di kalangan The Have  Bak sudah berubah menjadi Papi seperti yang sering kita lihat di sinetron televisi.  Bagi saya Bak adalah panggilan sederhana yang memiliki keagungan makna. Sama seperti Ka’bah yang hanya dibuat dari batu namun memiliki nilai spiritual yang luar biasa. Bak adalah kedekatan dan perhatian. Bak juga adalah tempat berlindung dan belajar. Bak bermakna kekuatan dan teladan. Bak juga berarti kesabaran dan keuletan. 
Gambar 1. Nelayan yang Pulang menangkap Udang

Usai sholat Ashar sore itu, Bak memanggul belacan buatannya ke toko Haji Seman. Belacan itu adalah hasil tangkapannya selama seminggu ini. Pada musim angin teduh seperti sekarang Bak menangkap anak-anak udang.  Bak mendorong  sungkur* di perairan dangkal laut kampung kami untuk menangkap anak-anak udang. Udang-udang hasil  tangkapan itu kemudian dijemur hingga kering.  Lalu ditumbuk dalam lesung khusus yang terbuat dari kayu. Hasil tumbukan itulah menjadi belacan atau terasi. Belacan itu dipadatkan dan dibentuk bulat untuk memudahkan membawanya ke pembeli. Pembelinya adalah semua pemilik warung yang ada di kampung kami.  Belacan yang mereka kumpulkan dari para nelayan mereka jual lagi ke kampung dan luar pulau. Belacan buatan Bak dan nelayan kampung kami sangat terjaga keasliannya. Satu ekorpun anak ikan tidak boleh tercampur. Maka  belacan buatan Bak memiliki aroma khas bukan bau busuk yang menyengat.
Gambar 2. Udang Hasil Tangkapan

”Cuma 28 kilo setengah. Sekarang harganya turun karena banyak belacan dari seberang,” kata Haji Seman usai menimbang belacan itu.
            ”Jadi sekarang berapa harganya, Ji?” Bak bertanya.
            ”1.800,  turun 200 rupiah dari minggu lalu,” jawab Haji Seman.
            ”Ambil uang atau barang?” Haji Seman bertanya. Biasanya nelayan kampung kami langsung membeli barang kebutuhan sehari-hari setelah menjual belacan. Kadang-kadang belacan itu  hanya cukup  untuk membayar hutang kebutuhan selama satu minggu ini.    

            ”Yang ini ambil uang semua dululah. Untuk beras dan gula kopi ngutang dulu Ji,” jawab Bak.
            ”Kalau sudah ngambil uang, barang nggak usah ngambil lagi. Kecuali bayar dulu utang minggu lalu,” Haji Seman menjawab ketus.  Bak terdiam. Di benaknya ada dua pilihan sulit. Antara ngambil barang kebutuhan atau uang.  Barang kebutuhan itu sangat dibutuhkan keluarganya.  Tapi dibenaknya terbayang dua orang anak laki-lakinya yang sedang sekolah di Jawa. Dua hari lalu surat salah satu anaknya tiba dan mengabarkan perlu uang untuk KKN. Sehari sebelumnya surat anaknya yang lain juga meminta segera dikirim uang bulanannya. Sementara istri dan lima anaknya menunggu di rumah.  Bak kemudian pulang setelah memutuskan untuk mengambil uang saja.
 Gambar 3. Proses Pengeringan Udang yang dilakukan Warga

            Di depan pintu Bak masuk dengan senyum khasnya. Tidak ada terbersit wajah susah ataupun sedih. Wajah yang senantiasa mengguratkan kegembiraan. Senyum yang menyiratkan harapan  dan cita-cita yang tak pernah mengenal kata menyerah dan putus asa. Ketika  Mak bertanya tentang barang-barang kebutuhan itu Bak dengan tenang menjelaskan.

”Uang belacan itu tidak cukup bila kita ngambil barang dan uang sekaligus. Hanya 28 kilo setengah. Harganya pun turun 200 rupiah dari minggu lalu. Haji Seman tidak membolehkan ngambil barang sebelum melunasi hutang minggu lalu. Kita perlu uang untuk Wan dan Dan,” Bak menjelaskan dengan tenang.

 ”Tapi  kita di sini perlu makan juga khan?”protes Mak
Gambar 4. Udang yang Telah dikeringkan

”Untuk minggu ini kita pinjam beras ke tetangga dululah. Kalau tidak, nanti Bak akan menumbuk padi sisa benih huma tahun lalu,” jawab Bak tanpa beban.  Selain sebagai nelayan Bak juga biasa bercocok tanam. Pada awal musim hujan  dia berladang dengan menanam padi tadah hujan.  Lahan bekas huma itu kemudian ditanami karet, durian atau pohon keras lainnya.  Menyadap karet adalah ketrampilan Bak yang lain. Bila musim angin kencang dan paceklik Bak menyadap karet untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Usai menyadap karet dia menyiangi kebun ladanya yang terletak di sebelah kebun karetnya. Lada adalah salah satu komoditi andalan warga kampung kami. Namun  sejak  tambang timah marak lada hampir dilupakan. Apalagi harganya yang jauh menurun sejak beberapa negara Asia dan Amerika Latin sudah berhasil mengembangkan komoditi ini.

Menjelang usianya yang ke-61, Bak mengalami pembekakan pada lutut kanannya. Tidak jelas apa sebabnya. Bak menganggap sakit lututnya itu adalah akibat keseleo saat dia bermain bola pada masa mudanya.  Berjalan pincang bukan alasan baginya untuk berdiam diri. Dia tetap pergi ke ladang seperti biasa. Dengan berbekal sebatang tongkat  Bak terus menyadap karet. Bila lelah dia istrahat dengan duduk bersandar di pohon karet. Usai menyadap dia menyiangi kebun  lada seperti biasa. Hanya kini pekerjaan sebagai nelayan sudah dia tinggalkan. Melihat kondisinya itu banyak orang menasehati supaya dia lebih banyak beristirahat.    

            ”Pekerjaanku  belum selesai,” jawab Bak singkat dengan senyum khasnya.  Biasanya jawaban itu tidak membuat orang bertanya lebih lanjut. Karena orang di kampung  mafhum apa yang dimaksud . Belum selesai karena masih ada anaknya yang masih sekolah.  Bak memang pernah dikata gila oleh sebagian orang kampung. Gila karena kenekatannya untuk menyekolahkan anak-anaknya ke luar pulau. Bahkan beberapa orang mencibir bila Bak lewat. Cerita Bak tentang cita-citanya untuk menyekolahkan semua anaknya dianggap sebagai omong kosong. Tapi Bak tetap tersenyum seolah tidak mendengar semua cemooh dan ejekan itu.    

Pagi itu teleponku berdering. Saat itu aku masih menyiapkan rundown untuk berita siang. Sebagai field produser televisi aku bertanggung jawab mengawasi peralatan dan tim  yang bertugas untuk berita siang itu.
            ”Wan, cepat segera ke kampung..!” suara Cik Rosman tetangga kami di kampung.
            ”Memangnya ada apa..? tanyaku agak kaget.
             ”Pokoknya cepat. Bak tengah sakit keras,” Cik Rosman menjawab dengan nada cemas.

Menjelang Isya aku tiba di rumah. Penerbangan selama 3  jam dan perjalanan darat selama 2 jam tidak membuatku lelah. Yang ada dalam pikiranku hanya Bak yang tengah terbaring lemah. Dan benar begitu aku masuk kulihat Bak tengah terbaring dikelilingi oleh Mak dan adik-adikku. Mak duduk di sisi kanan Bak.  Melihat kedatanganku Bak tersenyum dan seolah lupa dengan sakit yang dideritanya. Akupun memegang tangan dan mencium tangannya yang keriput. Tangannya yang dulu sangat perkasa memegang dayung menerjang ombak dan gelombang hidup.
            ”Ne... Wan,  Bak!”  kataku singkat. Bak tidak menjawab. Dia terlihat agak kepayahan dan berupaya untuk duduk bersandar. Dua butir air bening luruh dari sudut matanya namun tetap dengan bibir yang tersenyum. Aku sangat hafal dengan karakter Bak. Air mata itu adalah air mata gembira. Sebab kalau dia sedang sedih Bak tidak pernah menunjukkan kepada orang lain apalagi sampai menangis.
            ”Adik  Dan  Ke,  mana?” Kata Bak tiba-tiba menanyakan adikku Hamdani. Bak selalu memanggil kami dengan nama kecil kami. Adikku Hamdani dipanggil Dan. Aku sendiri dipanggil Wan, suku kata di tengah namaku. Setelah menyelesaikan kuliahnya Hamdani menetap di Cirebon. Dia mengajar di pesantrennya dulu,  mengikuti pesan Bak agar ia tetap mengajar. Pekerjaan pokoknya adalah usaha percetakan yang dikelola bersama istrinya.
           ”Agik dudi. Tadi kami dek sepesawat. Suat agik nya ateng”, jawabku.  Bak terlihat sumringah mendengar anak nomor tiganya itu segera tiba.

Pagi itu Bak memanggilku dan adikku Hamdani. Dia kelihatan lebih segar dari sebelumnya.

         ”Bak nek berumong kek ikak urang due ne,” kata Bak begitu kami duduk.
         ”Bak, lah mulai sihat. Bak dek nek kalok ikak lama igek sinik. Bak tau ikak banyek gawi, tanggung jawab dan segale macem tugas laen,” Bak berhenti sejenak menarik napas dalam-dalam lalu menghembusnya seolah melepas beban.

        ”Asa a waktu Bak ne lah dek lama agik. Lah waktu a Bak  kek pulang.” Bak berkata datar dan tenang sembari memandang kami bergantian. Aku terus menahan emosi. Namun tak urung air mata tak bisa dibendung. Sejak kami  kecil hingga sekarang  Bak tidak pernah bicara seserius ini. Adikku Hamdani sejak tadi sudah sesenggukan menahan sedih.

         ”Ngapa Bak berumong nak ya..” tanyaku.
         ”Mimang  nak yalah nek a. Kodrat manusia ya selalu nek pulang ke lapang demini nya  ngasa seneng. Pulang kumah, pulang kampong dan pulang ke Rahmatullah. Tapi kadang-kadang kita takot pulang karena ngasa sangu dek cukop. Ade nyeng takot pulang karena takot degaduh urang umah. Men kita ngasa dek salah dan ade kek debawek pulang ngapa haros takot..? Apa agik selama ne kita selalu muat urang umah ngasa rindu   nek ketempoh kek kita,” Bak memberi pelajaran.

        ”Bak bepesen, semayang jangan detinggal. Teroslah bedu’o  kek Bak-Mak ikak. Enggak ya lah  Bak arep men  Bak lah dek gik,” Bak menghentikan bicaranya. Kami terdiam terpaku.  Aku sendiri berupaya  tegar dan mencamkan semua ucapan Bak sore itu.

Dua bulan dari pertemuan dengan Bak sore itu, aku mendapat kabar bahwa Bak telah berpulang. Kabar itu kuterima ketika aku berada di kaki gunung Merapi  saat gunung itu bergolak.

        ”Kami ne agik nunggun Ke lah ne,” Cik Mat bicara di ujung telepon.
        ”Laksanakan fardlu kifayah secepat a Cik, Karena Bak lebih ingen nak ya daripada nunggun Ko ateng,” jawabku memutuskan.

Menjelang isya aku baru tiba di rumah. Atok Hasyim, Penghulu kampung kami baru saja usai membaca doa penutup tahlil. Dengan mengenakan sarung dan songkok peninggalan  Bak, saya berdiri di depan jemaah tahlil. Sebagai anak tertua saya mewakili keluarga untuk menyampaikan berbagai hal tentang Bak semasa hidupnya. Permohonan maaf atas segala kesalahan yang telah Bak perbuat termasuk masalah utang-piutang jika masih ada yang terlewat. Malam itu saya juga  menceritakan perjalanan Bak menyekolahkan anak-anaknya. Bak memang tidak sampai kelas tiga SD tetapi justru itu yang melecutnya untuk bertekad agar anak-anaknya tidak bernasib sama dengannya.

Seminggu setelah   nujuh hari Bak,  saya masih di kampung menemani dan  menghibur Mak. Saya masih menyempatkan hadir dalam pertemuan warga. Dua kubu warga kampung berdebat tentang rencana kedatangan dua unit kapal isap yang akan beroperasi di laut kampung. Pak Lurah dengan gigih meyakinkan warga bahwa kapal itu akan memberikan kesejahteraan untuk warga kampung.

        ”Selama ini... belum beroperasi saja pemilik kapal itu sudah sering memberi beras dan sapi ke untuk warga kampung ini. Apalagi  kalau kapal itu sudah jalan. Akan ada uang fee untuk pembangunan kampung ini” Pak Kades bersemangat

         ”Darimana Pak Kades yakin bahwa kita akan mendapatkan fee. Bagaimana cara pembagiannya? Siapa yang akan mengawasi? Tidak jelas! Dalam situasi seperti ini kita hanya akan jadi korban dan setelah kapal  itu pergi kitalah yang  akan menanggung segala kerusakan lingkungan yang ditinggalkannya,” Sulai berkata sengit. Perdebatan kemudian makin tidak imbang. Pak Kades di pihak yang pro mendapat dukungan dari tokoh-tokoh kampung yang selama ini ikut menikmati bantuan Si Tauke  pemilik kapal isap itu.
Gambar 5. Kapal Isap yang Sedang Beroperasi Di Wilayah Pesisir

Pro Kontra kapal isap itu telah lama memecahkan belah warga kampung. Mayoritas warga sebenarnya tidak setuju dengan kapal itu. Namun mereka memilih diam dan menghindari konflik dengan tokoh-tokoh kampung yang dimotori Kades. Sekelompok anak muda yang dipimpin Sulai menentang rencana itu. Mereka menganggap Kades tidak memihak warga. Apalagi selama ini lahan-lahan tidur di kampung sudah banyak yang dilego oleh Kades dan orang-orangnya. Masukan dari banyak pihak kepada Kades untuk menghentikan rencana kapal isap itu sudah tidak mempan. Karena sudah terlalu banyak umpan Tauke itu yang ditangkap oleh Kades. Dan kini saatnya Si Tauke menarik tali pancingnya.  

Sedari awal saya hanya diam saja melihat polah Kades bersilat kata melawan warganya sendiri. Sejak awal dia sudah menunjukkan sikap tidak senang dengan kehadiranku di majelis itu.  Dia tahu selama ini saya selalu menentang banyak keinginannya. Sampai akhirnya saya diminta Sulai untuk berbicara.

        ” Saya tidak ada urusan dengan kapal isap itu. Silahkan Pak Kades mau mengizinkannya. Toh saya tidak hidup di kampung ini. Mau jual hutan, jual tanah, jual laut atau jual kampung ini sekalian tidak urusan apapun dengan saya. Cuma satu yang saya minta, tanah kuburan yang di ujung kampung itu jangan pernah kalian jual. Karena itulah satu-satunya alasan  saya untuk kembali ke kampung ini”
Sejenak ruangan itu hening. Masing-masing menerawang dengan pikiran sendiri-sendiri.  Malam kian larut. Sayapun pamit pergi diringi  simponi suara-suara serangga malam yang beradu memuji kebesaranNya.


 Tangsel, Februari 2010

0 komentar:

Posting Komentar