Angsa
Bertelur Emas
June
20, 2014 at 4:33pm
ANGSA
BERTELUR EMAS
By.
Aswandi As’an
Cerpen ini telah disetujui oleh penulis untuk dimuat di Website Yayasan Sayang Babel kite
Pesawat Boeing 737-300 yang
membawaku ke Jakarta baru saja lepas landas dari bandara Depati Amir,
Pangkalpinang. Buku di tanganku yang semula akan kubaca selama
penerbangan ini urung aku buka karena aku tidak bisa konsentrasi.
Pikiranku masih tertuju pada satu kawasan pemandangan di kiri-kanan
jalan dari Pangkalpinang menuju kampungku. Dua puluh dua tahun lalu
setiap menjelang pukul 10 dan 11 pagi, di sepanjang jalan itu selalu
terdengar suara khas burung Kutkut dan Kais tampis yang
digunakan petani sebagai penanda waktu. Tapi siang itu suara khas burung-burung
itu tidak terdengar karena sepanjang jalan itu pokok batang dan dahan
kayu rimbun untuk burung-burung itu hinggap dan cari makan sudah tidak terlihat
lagi. Pohon sisel dan leteng yang sering kami panjat
sepulang sekolah berlomba dengan burung-burung itu juga sudah tidak ada. Sungai
Biyat dan pohon rumbiya yang tumbuh di bagian hulu tempat
kami bermain dan menangkap uyep dulu sudah hilang dan
berganti dengan air keruh dan arus sungai yang dangkal dengan lumpur dan pasir.
Aku berharap burung-burung itu hanya menyingkir karena takut dengan raungan
mesin diesel di sepanjang kawasan itu.
Semua kenangan masa kecilku
dulu di kawasan ini telah hilang karena hutan, kelakak dan sungai di
jalan ke kampungku itu sudah berganti rupa dengan hamparan dan gundukan
tanah kuning yang sangat luas. Puluhan genangan air di bekas lobang camui
membentuk kolong-kolong kecil di beberapa bagian tengah hamparan padang kuning
itu. Agak ke tengah ada hamparan pasir putih dengan rumput-rumput kecil tumbuh
persis berbatasan dengan semak yang luput dari galian. Di sebelah kiri hamparan
tanah kuning itu ada banyak bekas ban mobil dan alat berat. Di kejauhan tampak
beberapa orang berjalan beriringan dengan bersepatu boot dan sebagian
bertelanjang kaki. Dua diantaranya menenteng selang besar berwarna biru dengan
diameter antara 10 hingga 15 cm. Tapi makin dekat tidak satupun wajah itu yang
aku kenal. Sebab orang-orang ini adalah para pendatang yang bekerja
sebagai penambang di TI milik warga dan TI milik warga dari luar kampung
yang telah memiliki lokasi sendiri di bekas kelekak itu. Warga kampungku
telah merubah kelekak dan belukar di pinggir jalan menuju ke kampung
kami sebagai areal tambang. Sebagian yang lain memilih menjual kelekaknya
kepada pendatang untuk dijadikan sebagai lokasi TI.
Pilihan warga kampung merubah kelekak
menjadi TI atau menjual kelekak itu untuk dijadikan lokasi TI,
mengingatkanku pada kisah dari Cina kuno tentang seorang pemuda yang hidup
miskin yang berkeinginan menjadi orang kaya. Karena kegigihannya bekerja dan
kesungguhannya berdoa untuk merubah nasib, pemuda ini kemudian dianugerahi dewa
dengan seekor angsa melalui perantara seorang pertapa. Kepada sang pemuda
dipesankan bahwa angsa ini akan membantunya mewujudkan cita-cita karena setiap
hari angsa ini akan mengeluarkan sebutir telur emas. Karenanya pemuda itu
diminta untuk merawat dan menjaga angsa itu sebaik-baiknya. Tak berapa lama
pemuda yang tadinya miskin dan selalu kekurangan itu kini hidup berkecukupan
berkat telur emas yang diberikan sang angsa. Namun tabiat manusia yang
selalu kurang dan tidak pernah puas juga menghinggapi pemuda ini. Sampai
akhirnya dia berkeputusan untuk mengambil semua telur emas yang ada dalam perut
si angsa sekaligus. Angsa itupun disembelih dan perutnya dibedah untuk
mengeluarkan semua emas yang ada di dalamnya. Namun ternyata dalam perut angsa
itu tidak ditemukan satu butirpun telur emas. Pemuda itu kemudian
menyesali pilihannya namun segalanya telah terlambat dan penyesalan itu tidak
merubah apapun. Sampai akhirnya dia kembali hidup miskin dan tak punya apa-apa
lagi.
Kisah pemuda serakah ini
sepertinya akan berulang pada beberapa warga di kampungku. Banyak rumah
bagus di kampungku kini seperti tak terurus. Onggokan mesin diesel rusak
dengan suku cadang bekas tersebar di sekitar halaman rumah itu. Rumput dan
tanah di halaman itu sebagian berwarna hitam terkena tumpahan oli bekas
dan ceceran solar. Di bagian samping kanan rumah itu terparkir satu mobil
kijang bak terbuka dengan 2 roda depannya kempes. Dari bekas tanah kuning dan
lumpur di sekujur badannya mobil kijang itu sudah lama dibiarkan
tidak terpakai lagi. Di bawah mobil itu terbaring bangkai sepeda anak-anak
bercat hitam yang sudah karatan. Di bawah jendela depan di teras rumah gaya
spanyol itu bersandar motor Suzuki Shogun 125 cc kuning hitam
dengan rupa yang tidak terurus. Rumah, mobil, motor dan sepeda anak-anak
itu adalah sisa kekayaan ketika timah masih melimpah di kampung itu. Kini si
pemiliknya berusia sekitar 35 tahunan yang sempat menjadi orang kaya itu
menyambung hidup dengan menjadi pelimbang tailing mengais timah di bekas-bekas
lubang camui TI-nya dulu. Pekerjaan yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya
karena dulu dia punya 12 orang pekerja yang berasal dari Banjarnegera dan Musi
Banyuasin. Dia memutuskan menjual 2 kelekak warisannya
seluas 3 dan 4 hektar untuk modal membangun 5 front TI yang dioperasikan di
bekas kebun karet dan cempedak yang ada di ruas jalan ke kampung itu.
Dari pasir timah di bekas kelekak itulah dia mendapatkan
kekayaannya dulu. Saat itu tidak terpikir untuk menabung sebagai simpanan
selain perhiasan emas berupa kalung, gelang dan anting-anting yang
dikenakan anak dan istrinya. Ketika timah di tanah bekas kekelak itu
sudah menipis perhiasan itu satu persatu dijual untuk menutup modal. Hingga
akhirnya hanya mobil kijang, motor dan sepeda itulah yang tersisa dari tanah kelekak
warisan orang tuanya dulu. Itupun kini sudah teronggok menjadi besi
tua.
Tiga puluh tahun lalu hutan dan
kelekak di kampungku dijaga oleh para orang pintar yang biasa kami
panggil dukun. Hutan di bekas kelekak di jalan ke kampungku itu sangat
terjaga saat Atok Ketep masih hidup. Dia selalu melarang warga merusak hutan
yang ada di atas tumbek atau mata air. Atok Ketep hanya menjelaskan
kalau pantangan itu dilanggar maka Nek Akek penunggu tumbek itu
akan marah dengan membuat sakit si pelanggar. Demikian juga membuka hutan untuk
huma atau ladang pun tidak bisa sembarangan. Atok Ketep sangat keras
memperingatkan untuk memperhatikan letak hutan yang akan ditebang. Biasanya
tidak ada yang berani melanggar karena Atok Ketep dipercaya memiliki ilmu dan
biasa berhubungan dengan Penunggu Hutan. Sungai dan laut kampungku sangat
terjaga. Dukun buaya, Atok Sapah setiap 3 bulan berkeliling kampung
menggelar Taber. Usai Naber Atok Sapah selalu menyebut beberapa
pantangan antara lain untuk tidak membuang kulit cempedak, rambutan,
rambai atau duku ke sungai dan laut. Atok Sapah yang dipercaya memliki beberapa
peridup berupa buaya yang tinggal di hulu dan muara sungai itu, selalu
memperingatkan bahwa peridupnya itu tidak suka dengan kulit
buah-buahan dan sampah sisa manusia. Karena itu jangan membuang sampah-sampah
itu ke sungai atau ke laut.
Kini, setelah orang-orang tua
yang memiliki kearifan itu meninggal tidak ada lagi yang didengar orang
kampung. Jampi dan mantera mereka kini ikut terkubur dan tak mampu lagi menahan
terjangan alat berat yang terus menggerus tanah yang mereka lindungi dulu. Anak
cucu bukan hanya tidak percaya lagi dengan segala pantangan dan larangan para
orang tua tetapi sudah durhaka dengan bertindak sebagai pemusnah segala warisan
mereka. Nasehat untuk selalu merawat angsa bertelur emas itu baik-baik sudah
tidak dihiraukan lagi. Bahkan angsa itu kini sekarat karena keserakahan anak
cucu yang ingin cepat kaya.
Suara pramugari yang
mengumumkan pesawat akan segera mendarat membuyarkan aku dari pikiran ke
kawasan di jalan ke kampungku itu. Buku yang tadi urung aku baca hanya
sempat kubaca prolognya saja; “ Bila pohon terakhir sudah ditebang,
sungai terakhir telah mengering, dan ikan terakhir sudah ditangkap, barulah
manusia sadar bahwa uang tidak bisa dimakan“.
0 komentar:
Posting Komentar