Breaking News
Loading...
Kamis, 29 Januari 2015


Angsa Bertelur Emas
June 20, 2014 at 4:33pm
ANGSA BERTELUR EMAS
By. Aswandi As’an


Cerpen ini telah disetujui oleh penulis untuk dimuat di Website Yayasan Sayang Babel kite


Pesawat Boeing 737-300 yang membawaku ke Jakarta baru saja lepas landas dari bandara Depati Amir, Pangkalpinang.  Buku di tanganku yang semula akan kubaca selama penerbangan ini urung aku buka karena aku tidak bisa konsentrasi.  Pikiranku masih tertuju pada satu kawasan pemandangan di kiri-kanan  jalan dari Pangkalpinang menuju kampungku. Dua puluh dua  tahun lalu setiap menjelang pukul 10 dan 11 pagi,  di sepanjang jalan itu selalu  terdengar suara khas burung  Kutkut dan Kais tampis yang digunakan petani sebagai penanda waktu. Tapi siang itu suara khas burung-burung itu tidak terdengar  karena sepanjang jalan itu pokok batang dan dahan kayu rimbun untuk burung-burung itu hinggap dan cari makan sudah tidak terlihat lagi.  Pohon sisel dan leteng yang sering kami panjat sepulang sekolah berlomba dengan burung-burung itu juga sudah tidak ada. Sungai Biyat dan pohon rumbiya  yang tumbuh di bagian hulu  tempat kami bermain dan menangkap uyep  dulu  sudah hilang dan berganti dengan air keruh dan arus sungai yang dangkal dengan lumpur dan pasir. Aku berharap burung-burung itu hanya menyingkir karena takut dengan raungan mesin diesel di sepanjang kawasan itu.
 


Semua kenangan masa kecilku dulu di kawasan ini telah hilang karena hutan, kelakak dan sungai di jalan ke kampungku itu sudah berganti rupa dengan hamparan  dan gundukan tanah kuning yang sangat luas. Puluhan genangan  air di bekas lobang camui membentuk kolong-kolong kecil di beberapa bagian tengah hamparan padang kuning itu. Agak ke tengah ada hamparan pasir putih dengan rumput-rumput kecil tumbuh persis berbatasan dengan semak yang luput dari galian. Di sebelah kiri hamparan tanah kuning itu ada banyak bekas ban mobil dan alat berat. Di kejauhan tampak beberapa  orang berjalan beriringan dengan bersepatu boot dan sebagian bertelanjang kaki. Dua diantaranya menenteng selang besar berwarna biru dengan diameter antara 10 hingga 15 cm. Tapi makin dekat tidak satupun wajah itu yang aku kenal. Sebab  orang-orang ini  adalah para pendatang yang bekerja sebagai penambang di TI milik warga dan TI milik warga  dari luar kampung yang telah memiliki lokasi sendiri di bekas kelekak itu. Warga kampungku telah merubah kelekak dan belukar di pinggir jalan menuju ke kampung kami sebagai areal tambang. Sebagian yang lain memilih menjual kelekaknya kepada pendatang untuk dijadikan sebagai lokasi TI.



Gambar 1. Penambangan Timah ( TI ) darat di Bangka



Pilihan warga kampung merubah kelekak menjadi TI atau menjual kelekak itu untuk dijadikan lokasi TI, mengingatkanku pada kisah dari Cina kuno tentang seorang pemuda yang hidup miskin yang berkeinginan menjadi orang kaya. Karena kegigihannya bekerja dan kesungguhannya berdoa untuk merubah nasib, pemuda ini kemudian dianugerahi dewa dengan seekor angsa melalui perantara seorang pertapa. Kepada sang pemuda dipesankan bahwa angsa ini akan membantunya mewujudkan cita-cita karena setiap hari angsa ini akan mengeluarkan sebutir telur emas. Karenanya pemuda itu diminta untuk merawat dan menjaga angsa itu sebaik-baiknya. Tak berapa lama pemuda yang tadinya miskin dan selalu kekurangan itu kini hidup berkecukupan berkat telur emas yang diberikan  sang angsa. Namun tabiat manusia yang selalu kurang dan tidak pernah puas juga menghinggapi pemuda ini. Sampai akhirnya dia berkeputusan untuk mengambil semua telur emas yang ada dalam perut si angsa sekaligus. Angsa itupun disembelih dan perutnya dibedah  untuk mengeluarkan semua emas yang ada di dalamnya. Namun ternyata dalam perut angsa itu tidak ditemukan satu butirpun  telur emas. Pemuda itu kemudian menyesali pilihannya namun segalanya telah terlambat dan penyesalan itu tidak merubah apapun. Sampai akhirnya dia kembali hidup miskin dan tak punya apa-apa lagi.

Kisah pemuda  serakah ini sepertinya akan berulang pada beberapa warga di kampungku. Banyak rumah  bagus di kampungku kini seperti tak terurus. Onggokan mesin diesel rusak dengan suku cadang bekas tersebar di sekitar halaman rumah itu. Rumput dan tanah di halaman itu sebagian  berwarna hitam terkena tumpahan oli bekas dan ceceran solar. Di bagian samping kanan rumah itu terparkir satu mobil kijang bak terbuka dengan 2 roda depannya kempes. Dari bekas tanah kuning dan lumpur di sekujur badannya  mobil kijang  itu sudah lama dibiarkan tidak terpakai lagi. Di bawah mobil itu terbaring bangkai sepeda anak-anak bercat hitam yang sudah karatan. Di bawah jendela depan di teras rumah gaya spanyol itu bersandar  motor Suzuki Shogun 125 cc kuning hitam  dengan rupa yang tidak terurus. Rumah, mobil, motor  dan sepeda anak-anak itu adalah sisa kekayaan ketika timah masih melimpah di kampung itu. Kini si pemiliknya berusia sekitar 35 tahunan yang sempat menjadi orang kaya itu menyambung hidup dengan menjadi pelimbang tailing mengais timah di bekas-bekas lubang camui TI-nya dulu. Pekerjaan yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya karena dulu dia punya 12 orang pekerja yang berasal dari Banjarnegera dan Musi Banyuasin.  Dia memutuskan menjual 2  kelekak warisannya seluas 3 dan 4 hektar untuk modal membangun 5 front TI yang dioperasikan di bekas kebun karet dan cempedak yang ada di ruas jalan ke kampung itu. Dari  pasir  timah di bekas kelekak itulah dia mendapatkan kekayaannya dulu. Saat itu tidak terpikir untuk menabung sebagai simpanan selain perhiasan emas berupa kalung, gelang  dan anting-anting yang dikenakan anak dan istrinya. Ketika timah di tanah bekas kekelak itu sudah menipis perhiasan itu satu persatu dijual untuk menutup modal. Hingga akhirnya hanya mobil kijang, motor dan sepeda itulah yang tersisa dari tanah kelekak warisan orang tuanya dulu. Itupun kini sudah teronggok menjadi besi tua. 


Gambar 2. Penambangan yang Dilakukan di Depan Rumah Warga




Tiga puluh tahun lalu hutan dan kelekak di kampungku dijaga oleh para orang pintar yang biasa kami panggil dukun. Hutan di bekas kelekak di jalan ke kampungku itu sangat terjaga saat Atok Ketep masih hidup. Dia selalu melarang warga merusak hutan yang ada di atas tumbek atau mata air. Atok Ketep hanya menjelaskan kalau pantangan itu dilanggar maka Nek Akek penunggu tumbek itu akan marah dengan membuat sakit si pelanggar. Demikian juga membuka hutan untuk huma atau ladang pun tidak bisa sembarangan. Atok Ketep sangat keras memperingatkan untuk memperhatikan letak hutan yang akan ditebang. Biasanya tidak ada yang berani melanggar karena Atok Ketep dipercaya memiliki ilmu dan biasa berhubungan dengan Penunggu Hutan. Sungai dan laut kampungku sangat terjaga. Dukun buaya,  Atok Sapah setiap 3 bulan berkeliling kampung menggelar Taber. Usai Naber Atok Sapah selalu menyebut beberapa pantangan antara lain  untuk tidak membuang kulit cempedak, rambutan, rambai atau duku ke sungai dan laut. Atok Sapah yang dipercaya memliki beberapa peridup berupa buaya yang tinggal di hulu dan muara sungai itu, selalu memperingatkan bahwa  peridupnya itu tidak suka dengan kulit buah-buahan dan sampah sisa manusia. Karena itu jangan membuang sampah-sampah itu ke sungai atau ke laut.

Gambar 3. Hutan Kelekak yang Masih Terawat





Kini, setelah orang-orang tua yang memiliki kearifan  itu meninggal tidak ada lagi yang didengar orang kampung. Jampi dan mantera mereka kini ikut terkubur dan tak mampu lagi menahan terjangan alat berat yang terus menggerus tanah yang mereka lindungi dulu. Anak cucu bukan hanya tidak percaya lagi dengan segala pantangan dan larangan para orang tua tetapi sudah durhaka dengan bertindak sebagai pemusnah segala warisan mereka. Nasehat untuk selalu merawat angsa bertelur emas itu baik-baik sudah tidak dihiraukan lagi. Bahkan angsa itu kini sekarat karena keserakahan anak cucu yang ingin cepat kaya.

Gambar 4. Tampak Dari Atas Kerusakan Aliran Sungai di Pulau Bangka


Suara pramugari yang mengumumkan pesawat akan segera mendarat membuyarkan aku dari pikiran ke kawasan di jalan ke kampungku itu.  Buku yang tadi urung aku baca hanya sempat kubaca  prolognya saja; “ Bila pohon terakhir sudah ditebang, sungai terakhir telah mengering, dan ikan terakhir sudah ditangkap, barulah manusia sadar bahwa uang tidak bisa dimakan“.

0 komentar:

Posting Komentar