Ujung
Desember 2010
Mimbar
By:
Aswandi As’an
Cerpen ini telah disetujui oleh penulis untuk dimuat
di Website Yayasan Sayang Babel kite
Sudah empat bulan
ini mimbar itu berada dalam mesjid “AlHuda” kampung
Pelidang. Empat
bulan ini pula para
khotib dilanda
kebimbangan. Bimbang memilih
mimbar mana yang akan dinaiki ketika akan memberi khotbah. Karena
mimbar lama yang berusia
lebih dari 50 tahun juga masih berdiri di sebelah mimbar baru itu. Warnanya
lebih kusam dibandingkan dengan mimbar baru di sebelahnya. Tetapi
arsitektur dan pahatan ornamennya memiliki
nilai seni yang sangat tinggi. Nilai yang hanya
bisa dilihat oleh mata yang ahli. Demikian
juga bahan-bahnnya, mimbar lama itu terbuat dari teras Nyatoh yang berusia ratusan
tahun yang berasal dari
rimba Nyatoh
Rubuh. Beberapa
bagiannya terbuat
dari teras Tenggeris yang direndam
dengan air campuran getah Mendaru untuk
menangkal rampa. Kontras
dengan mimbar baru yang warnanya lebih
cerah nan menawan. Sangat
menarik untuk mata awam tetapi
tidak untuk seorang tukang kayu
karena mimbar itu dibuat dari kayu Jati muda yang belum cukup umur.
Keberadaan mimbar baru itu tidak hanya memecah
konsentrasi para khotib tetapi juga jemaah kampung Pelidang. Ada
saja jemaah yang main tebak-tebakan begitu khutbah akan dimulai. “Baru apa lama ?” kata Dolah setengah
berbisik sambil menyikut Amit yang duduk di sebelahnya. Amit
yang sudah maklum dengan pertanyaan itu langsung melihat ke shof depan untuk melihat
siapa khotib
Jum’at ini. “Baru..” jawab Amit singkat begitu
melihat Haji Rohmat sudah ancang-ancang berdiri menuju mimbar. Ajang
tebak-tebakan itu pun berhenti dengan
sendirinya karena semua jemaah sudah faham mimbar mana yang akan dinaiki oleh masing-masing
khotib. Haji
Rohmat, Haji Bujang dan
Haji Seman senang
dengan yang baru. Sementara Haji Syukor,
Haji Denan, Haji
Kadir dan Haji Romli lebih senang dengan
yang lama. “Saya lebih tenang berada di atas mimbar lama
itu,” jawab
Haji Kadir ketika ditanya alasan pilihannya itu.
Keadaan itu terus berlangsung hingga pertengahan bulan
Ruwah dimana kampung Pelidang merayakan pertengahan
bulan itu dengan Hari Raya Ruwah. Hari
Raya Ruwah sebenarnya adalah Nisfu Sya’ban atau pertengahan bulan Sya’ban. Karena
suasananya seperti lebaran lengkap dengan ketupat- lepet maka banyak orang
Pelidang yang
tinggal di luar kampung pulang
untuk merayakannya. Termasuk
Syamsul Bahri yang juga pulang bersama anak
dan istrinya. Syamsul adalah
putra asli kampung Pelidang yang
menjadi pengajar di
sebuah pesanteren di Jawa Barat. Keberadaan
mimbar kembar
itu tak urung memancing rasa ingin tahunya. Apa cerita dibalik fakta itu.
“Nak mana
kisah a pacak macem ne?” tanyanya kepada Derani, marbot mesjid itu.
“Mimbar baru
ya mari a de beri’ urang pejabat kabupaten,”
jawab Derani singkat.
“Ade dek
pejabat ya madeh kek apa gune a?” tanya Symasul lagi
“Dek de, tapi
katanya mimbar ya wakaf,” sahut Derani. Derani, lelaki lajang 60 tahunan yang
mengabdikan hidupnya sebagai marbot
mesjid itu
hanya bisa menjelaskan pandangan
matanya saja. Ketika itu, marbot tua itu melihat sang pejabat mengantar mimbar itu dengan truk yang dikawal 6
orang Satuan Polisi Pamong Praja
“Ne jelas gawi mubazir,” kata Syamsul seolah
bicara pada diri sendiri.
“Ko enggak tau ya lah kisah mimbar ne,”
kata Derani ketika Syamsul mencoba mengorek informasi lainnya. Kisah
Derani yang cuma sepotong itu membuat Syamsul penasaran dan terus mencari tahu
lebih jauh cerita di balik mimbar wakaf itu. Dari berbagai kisah warga kampung Pelidang
mimbar itu berkait erat dengan dua unit kapal isap yang sempat beroperasi di
laut kampung itu. Sang
pejabat datang membawa mimbar hanya berselang satu minggu setelah kapal isap
mengangkat sauh pergi meninggalkan perairan Pelidang. “
Kapal ya dulu’ a ateng ke kampong ne lom made izin a. Tapi karena ade urang bepangket nyeng ngejamin a kapal ya langsong belabuh de pulau Medang ya. Urang kampong ne banyek nyeng dek tau kisah a,” kata
Atok Sakim bercerita dengan rokok gulungan
daun nipah tetap
menempel di bibirnya. Atok
Sakim yang dikenal sebagai pembuat atap dari daun nipah itu berkisah warga
sudah berkali-kali menolak dan sempat mendatangi kapal isap itu meminta kapal
itu segera meninggalkan perairan Pelidang. Warga
juga berkali-kali melakukan aksi damai ke kabupaten dan meminta pejabat
kabupaten tidak mengeluarkan ijinnya. Sang Pejabat pun
berjanji tidak akan mengeluarkan ijin selama ada warga yang menolak.
“Dia sendiri yang berjanji tidak akan mengizinkan kapal itu jika masih
ada warga yang menolak, tapi dia juga yang menyuruh tauke pemilik
kapal untuk segera beroperasi. Dan dia pula yang memerintahkan aparat untuk
menangkap warga jika ada yang protes ketika kapal itu mulai berjalan,” Bandi
berkisah panjang tentang Pejabat
itu. Bandi
adalah pemuda kampung yang memimpin semua aksi penolakan terhadap kapal itu. Selama
satu minggu awal kapal itu beroperasi setiap
hari aparat
tidak berseragam mengawasi warga
kampung. Situasi
tegang dan warga merasa terintimidasi. “Kita hanya diam dan tidak bergerak. Tetapi
dalam diam itu banyak warga yang melawan dengan cara masing-masing. Nelayan juga sempat menggelar doa bersama,”
ungkap Bandi. Bandi
enggan menyebut nama para Tetua
Kampung yang
melawan dengan cara menggunakan ilmunya. Menurutnya
hampir semua orang pintar kampung Pelidang sepakat
melawan dan memberi pelajaran kepada kapal yang
melakukan kerusakan di laut Pelidang itu. “Wallahu’alam,
hanya Allah-lah yang tahu semuanya. Tugas kita hanya berikhtiar dan berusaha,”
ucap Bandi sembari menunjuk ke atas ketika ditanya tentang
keberhasilan mereka mengusir kapal itu. Kapal
yang semula akan beroperasi selama
6 bulan di
laut kampung itu hanya berjalan dua minggu karena mengalami banyak masalah.
Mulai dari mesin yang ngadat, kipas yang patah, angin kencang dan gelombang
tinggi, pipa
kemasukan batang nipah dan lain-lain. Dari data bor, timah
di perairan Pelidang memiliki kandungan dan mutu tinggi namun
begitu ditambang banyak yang hampa bahkan
menghilang . “Kita tidak mengusir, mereka pergi sendiri karena sudah terlalu banyak
rugi,” jelas Bandi tentang kepergian dua unit kapal isap
itu. Mantan aktifis mahasiswa berpostur
sedang itu menceritakan tentang adanya
kaitan pemilukada dengan
kapal isap itu, yang
membuat Syamsul makin
tertarik dengan kisah sepupu jauhnya itu. Pembicaraan pun jadi lebih serius.
“Apa hubungannya kapal isap dengan Pilkada?”
tanya Samsul
“kapal isap adalah titik temu antara nafsu serakah tauke dan syahwat politik pejabat ”
jawab Bandi
“kok bisa…?” kejar Syamsul
“tauke itu perlu perlindungan dan pejabat
butuh modal ,” jawab Bandi singkat.
“tapi pejabat menyebut kapal itu investasi?”
Syamsul memancing.
“Kak, ini bukan investasi ini kebodohan
ekonomi. Lihat saja di kampung-kampung yang sudah dimasuki kapal isap. Apa jadinya kampung itu. Laut
rusak lingkungan berantakan nelayan merana karena
ikan semakin jarang. Kalaupun disebut investasi ini adalah investasi dosa para pejabat itu untuk mereka petik di
kemudian hari,” kata Bandi tanpa bisa menyembunyikan
kegeramannya.
“di luar sana orang masih menyebut kampung
kita ini sebagai negeri Laskar Pelangi. Yaah, paling tidak masih ada lah
sedikit kebanggaan dengan predikat itu,” Syamsul mencoba
menghibur
“kamipun senanglah dengan sebutan itu. Tapi
yang kami hadapi di sini adalah para Laskar Korupsi yang berkolusi dangan
saling mengunci. Mereka menjarah negeri untuk kepentingan kelompok keluarga dan diri
sendiri. Jika untung mereka nikmati sendiri kalau
bermasalah rakyat dan kampunglah yang menanggung akibat dan menanggung rugi,” jawab Bandi dengan raut sedih.
“kalo mimbar itu apa hubungannya?” Syamsul
masuk ke pokok soal
“mimbar itu adalah upaya untuk menyelamatkan muka,”
jawab Bandi menggantung dan satire.
“kok ..?” Syamsul tak bisa menahan penasaran
“pejabat yang memberi mimbar itu adalah orang
yang sama yang merestui kapal isap masuk ke kampung ini. Semua warga di sini sudah tahu jika orang itu
pula yang minta aparat menangkap warga yang mau protes ketika kapal itu mulai beroperasi. Tapi karena
Allah SWT tidak mengizinkan, maka kapal itu pergi sendiri setelah menderita
rugi. Pejabat itu ingin memperbaiki mukanya karena kehilangan muka sejak
kapal itu berhenti. Pejabat itu tahu mimbar itu simbol moralitas dan
kemuliaan. Paling tidak itu yang difahami warga karena itu menyangkut simbol agama. Dengan mimbar itu pejabat itu ingin dinilai sebagai seorang bermoral
dan mulia dan berharap warga melupakan tindakan zholimnya,” jelas Bandi panjang
lebar. Penjelasan yang
membuat Syamsul terdiam dan mengakui kebenaran ucapan saudara sepupu jauhnya
itu. Sejenak
dua putra Pelidang beda generasi itu sama-sama terdiam dengan pikirannnya
sendiri-sendiri. Hanya
bunyi riak air laut yang mulai pasang yang sudah menjangkau tempat keduanya
duduk di sisi sebuah sampan di pelabuhan kampung. Dari jauh keduanya terlihat seperti siluet
karena matahari yang hampir mendekati garis
ufuk dengan sinarnya yang jingga. Lalu
keduanya bergerak berjalan
pulang meninggalkan pelabuhan kecil itu.
Jum’at sore bakda
Ashar terjadi kegaduhan di mesjid kampung
Pelidang. Sekelompok
anak-anak muda yang dimotori Syamsul berupaya
mengeluarkan mimbar baru
dari mesjid. Upaya
Syamsul dan kawan-kawanya ini ditentang oleh beberapa warga
kampung yang dimotori Haji Rohmat . Haji Rohmat cs adalah
pihak yang mendukung mimbar
itu dan biasa didatangi oleh orang-orang utusan sang pejabat. Pertentangan
kedua kelompok ini hampir terjadi benturan fisik jika saja Kades tidak datang ke mesjid itu.
“Mimbar itu
sudah ada sejak Kades lama masih menjabat beberapa bulan lalu. Selama ini belum ada orang yang berani mengeluarkannya. Sama ketika mimbar itu datang belum ada orang
yang mengatakan setuju dengan mimbar itu. Maka saya ingin mendengar alasan masing- masing,”kata Kades menengahi.
“anak ini baru beberapa hari tiba di kampung ini. Tidak
jelas ujung pangkalnya tiba-tiba ngajak orang mengeluarkan mimbar ini. Kita yang tua-tua saja enggak berani ngotak-ngatik mimbar itu ,”
Haji Rohmat berkata sambil
menuding ke arah Syamsul.
“mengapa
tidak berani?” tanya Kades
“pertama,
mimbar itu mimbar wakaf dan kita wajib menjaga barang-barang wakaf. Kedua kami
takut nanti kita akan tulah kalo sampai memperlakukannya tidak
semestinya. Kalo sudah tulah maka akan berakibat buruk untuk
kampung kita ini,” jawab Haji Rohmat dengan nada penuh kemenangan. Haji yang berusia 50 tahunan juga memuji sang pejabat yang
telah berbaik hati mewakafkan mimbar itu. “lagi pula mengapa kita tidak
berterima kasih kepada orang yang telah menyumbang mimbar itu,” lanjutnya.
“Ok, Kalo
dari sebelah sini bagaimana..?” tanya Kades sambil menoleh ke arah Syamsul
dan kawan-kawannya.
“Mudharat mimbar ini sekarang sudah terjadi dan
sedang kita alami, memecah
belah warga kampung kita. Karena
di dalamnya mengandung dhirar atau
gangguan dan tipu daya. Apa
motif di balik mimbar ini? Apakah betul diwakafkan atas karena keimanan atau
ketaqwaan? Atau motif jabatan dan dunia? Selain memecah belah mimbar ini juga mubazir karena
mimbar lama masih sangat baik. Mimbar
lama itu di buat oleh
Akek Ael, orang tua zuhud dan wara’ asli
dari kampung ini lebih
50 tahun lalu. Sampai
sekarang keberkahannya masih terasa. Tidak ada rayap yang berani memakannya.
Meski warnanya yang kusam termakan usia tapi fisiknya sama sekali belum rusak
dan masih tetap kokoh. Mengapa? Karena
ketaqwaan dan keimanan pembuatnya yang
menjadikan mimbar itu berkah. Dan
lihat mimbar sebelahnya yang mengkilat itu, dibuat karena
pemiliknya menghendaki dunia dan jabatan dan berharap meraih kemuliaan, bukan
atas dasar mengejar keridhaanNya. Dia
ingin menutupi rasa malunya karena telah menzholimi warga kampung ini,” kata
Syamsul.
“Apa kamu
enggak takut tulah…?” sergah Haji Rohmat yang gerah mendengar ucapan Syamsul.
“Semua kampung ini sudah tulah karena tidak
menghargai orang-orang tua lagi. Kalo
memang takut tulah jaga mimbar buatan Akek Ael itu karena
itu adalah amal jariyah yang dia harapkan pahalanya
mengalir terus ketika
sekarang dia sudah di alam kubur,” jawab Syamsul langsung menohok.
“Tapi ini
mimbar, Jang! tempat keramat, suci, yang harus dimuliakan,”
Haji Rohmat mencari celah dengan sedikit merendahkan Syamsul dengan sebutan
bujang.
“Keramat dan suci suatu itu bukan karena
fisik bendanya semata tetapi keimanan, ketaqwaan dan perbuatan kita. Apakah perbuatan-perbuatan kita menggambarkan itu semua? Kalo dilihat fisiknya semua pejabat itu mulia
karena ucapannya di baliho dan papan reklame mengajar yang makruf dan mencegah yang munkar. Penampilannya juga berpeci lengkap dengan sorban dan baju telok
belangonya. Tapi lihat perbuatannya? Apa seperti ucapan dan penampilannya itu?”
kata Syamsul retoris.
“Coba tahan dulu..” Kades menenangkan
suasana. “Kalo kita keluarkan mimbar yang
baru itu, apa ada hujjahnya?”
“Rosulullah Shollallahualaihi wa sallam,
suatu ketika di Madinah pernah memerintahkan membakar sebuah mesjid karena mesjid itu dibangun bukan untuk membina keimanan dan
ketaqwaan ummat tapi karena motif dan tujuan politis. Kalo diqiyaskan mimbar itu memiliki kasus yang sama,”
ungkap Syamsul.
“Pak haji, punya dalil yang menguatkan agar
mimbar itu dipertahankan?” Kades
mengarah ke Haji Rohmat dan orang-orangnya. Dalam hatinya Haji Rohmat sangat ingin
mempertahakan mimbar itu karena mimbar itu juga berarti mukanya juga. Karena
dialah yang memperbolehkan mimbar itu masuk ke mesjid kampung . Namun
dia tidak memiliki alasan kuat untuk
mempertahankannya. Maka
dengan sedikit kikuk
dia berucap, “yah.. sebagai warga kampung yang baik saya serahkan sepenuhnya kepada Pak
kades untuk memutuskan.”
“Baik
kalo begitu, mari kita angkat mimbar ini bersama-sama keluar mesjid dan
meletakkannya di
balai desa,” kata Kades
sembari beranjak dari tempat duduknya. Namun
sebelum Kades berdiri sempurna tiba-tiba
Haji Rohmat mengangkat tangan protes,”lho..apa dasarnya Pak Kades memutuskan
untuk memindahkan mimbar itu?”
“Ya,
saya tidak memiliki pengetahuan luas dalam hal ini seperti guru Syamsul, tapi
saya ingat ucapan seorang ahli pidato Romawi bernama Cicero yang
hidup sekitar satu abad sebelum masehi. Dia
bilang begini, siapa yang naik mimbar tanpa persiapan maka dia akan
turun tanpa kehormatan. Nah,
kalo diqiyaskan dengan
bahasa yang lain jadi begini, siapa yang membuat mimbar tanpa keimanan
dan ketaqwaan tetapi berharap mulia dunia dan jabatan maka dia akan menyesali
semuanya dan hidupnya akan berakhir dengan kehinaan,” kata
Kades dengan wajah serius. Sejenak
kemudian, mimbar yang sempat berdiri beberapa bulan di sisi kiri tempat imam
itu diangkat beramai-ramai keluar mesjid kampung Pelidang. Ketika itu
bulan di atas langit kampung Pelidang tampak
separoh dan pucat karena matahari masih belum terbenam. Bulan
itu menandakan bahwa Sya’ban tidak lama lagi akan berakhir dan Ramadhan segera
menjelang.*
Penagan,
Ruwah 2011
0 komentar:
Posting Komentar