Breaking News
Loading...
Kamis, 29 Januari 2015

Ujung Desember 2010
Mimbar
By: Aswandi As’an
Cerpen ini telah disetujui oleh penulis untuk dimuat di Website Yayasan Sayang Babel kite



Sudah  empat  bulan ini mimbar itu berada dalam mesjid  “AlHuda”  kampung Pelidang.  Empat bulan ini pula  para khotib  dilanda kebimbangan. Bimbang  memilih mimbar mana yang akan dinaiki ketika akan memberi khotbah.  Karena mimbar lama yang  berusia lebih dari 50 tahun juga masih berdiri di sebelah mimbar baru itu.   Warnanya lebih kusam dibandingkan dengan mimbar baru di sebelahnya.  Tetapi arsitektur dan pahatan ornamennya  memiliki nilai seni yang sangat tinggi. Nilai  yang  hanya bisa dilihat oleh mata yang ahli.  Demikian juga bahan-bahnnya, mimbar lama itu terbuat dari teras Nyatoh yang berusia  ratusan tahun yang  berasal  dari rimba  Nyatoh Rubuh.  Beberapa bagiannya  terbuat dari teras Tenggeris  yang  direndam dengan air campuran getah  Mendaru  untuk menangkal  rampa.   Kontras dengan mimbar baru yang warnanya  lebih cerah nan  menawan.  Sangat menarik untuk mata awam  tetapi tidak untuk seorang tukang  kayu karena mimbar itu dibuat dari kayu Jati muda yang belum cukup umur.
Keberadaan mimbar baru itu tidak hanya memecah konsentrasi para khotib tetapi juga jemaah kampung Pelidang.  Ada saja jemaah yang main tebak-tebakan begitu khutbah akan dimulai.  “Baru  apa  lama ?” kata Dolah setengah berbisik sambil menyikut Amit yang duduk di sebelahnya.  Amit yang sudah maklum dengan pertanyaan itu langsung melihat ke shof depan  untuk  melihat siapa  khotib Jum’at ini.  “Baru..” jawab Amit singkat  begitu melihat Haji Rohmat sudah ancang-ancang berdiri menuju mimbar.  Ajang tebak-tebakan itu pun berhenti  dengan sendirinya karena semua jemaah sudah faham  mimbar mana yang akan dinaiki oleh  masing-masing khotib.  Haji Rohmat, Haji Bujang  dan Haji  Seman  senang dengan yang baru. Sementara Haji  Syukor, Haji Denan,  Haji Kadir dan Haji Romli lebih senang  dengan yang lama.  “Saya lebih tenang berada di atas mimbar lama itu,”  jawab Haji Kadir ketika ditanya alasan pilihannya itu.
Keadaan itu terus berlangsung  hingga  pertengahan  bulan Ruwah dimana kampung Pelidang  merayakan  pertengahan bulan itu dengan Hari Raya Ruwah.  Hari Raya Ruwah sebenarnya adalah Nisfu Sya’ban atau pertengahan bulan Sya’ban.  Karena suasananya seperti lebaran lengkap dengan ketupat- lepet maka banyak orang Pelidang  yang tinggal di luar kampung  pulang untuk merayakannya.   Termasuk Syamsul Bahri yang juga pulang  bersama  anak dan istrinya. Syamsul  adalah putra asli kampung Pelidang  yang menjadi pengajar  di sebuah pesanteren di Jawa Barat.  Keberadaan mimbar  kembar itu tak urung memancing rasa ingin tahunya.  Apa cerita dibalik fakta itu.
Nak mana kisah a pacak macem ne?” tanyanya kepada Derani, marbot mesjid itu. 
Mimbar baru ya mari a de beri’  urang pejabat kabupaten,” jawab  Derani  singkat.
Ade dek pejabat ya madeh kek apa gune a?” tanya Symasul lagi
Dek de, tapi katanya mimbar ya wakaf,” sahut Derani.  Derani, lelaki lajang 60 tahunan yang mengabdikan hidupnya sebagai  marbot mesjid  itu hanya bisa menjelaskan  pandangan matanya saja. Ketika itu, marbot tua itu melihat   sang pejabat mengantar mimbar itu dengan truk  yang  dikawal  6 orang Satuan Polisi Pamong Praja
Ne jelas  gawi  mubazir,” kata Syamsul  seolah bicara pada diri sendiri.  
Ko  enggak tau ya lah kisah mimbar ne,” kata Derani ketika Syamsul mencoba mengorek informasi lainnya.  Kisah Derani yang cuma sepotong itu membuat Syamsul  penasaran dan terus mencari  tahu lebih jauh cerita di balik mimbar wakaf itu.  Dari berbagai kisah warga kampung Pelidang mimbar itu berkait erat dengan dua unit kapal isap yang sempat beroperasi  di laut kampung itu.  Sang pejabat datang membawa mimbar hanya berselang satu minggu setelah kapal isap mengangkat sauh pergi meninggalkan perairan Pelidang.  “ Kapal ya dulu’ a  ateng ke kampong ne lom made izin a. Tapi karena  ade urang bepangket nyeng ngejamin    kapal  ya langsong  belabuh de pulau Medang  ya. Urang kampong ne banyek  nyeng dek tau kisah a,”  kata Atok Sakim bercerita dengan  rokok  gulungan daun nipah  tetap menempel di bibirnya.  Atok Sakim yang dikenal sebagai pembuat atap dari daun nipah itu berkisah  warga sudah berkali-kali menolak dan sempat mendatangi kapal isap itu meminta  kapal itu segera meninggalkan perairan Pelidang.  Warga juga berkali-kali melakukan aksi damai  ke kabupaten dan meminta  pejabat kabupaten tidak mengeluarkan ijinnya.  Sang  Pejabat  pun berjanji tidak akan mengeluarkan ijin selama ada warga yang menolak. 
          “Dia sendiri yang berjanji   tidak akan mengizinkan kapal itu jika masih ada warga yang  menolak, tapi dia juga yang menyuruh tauke pemilik kapal untuk segera beroperasi.  Dan dia pula yang memerintahkan aparat untuk menangkap warga jika ada yang protes ketika kapal itu mulai berjalan,”  Bandi berkisah panjang  tentang  Pejabat itu.  Bandi adalah pemuda kampung yang memimpin semua aksi penolakan terhadap kapal  itu.  Selama satu minggu awal kapal itu beroperasi  setiap hari  aparat tidak berseragam mengawasi  warga kampung.  Situasi tegang dan warga merasa terintimidasi.  “Kita hanya diam dan tidak bergerak. Tetapi dalam diam itu banyak warga yang melawan dengan cara masing-masing.  Nelayan juga sempat menggelar doa bersama,” ungkap Bandi.  Bandi enggan menyebut nama para  Tetua Kampung  yang melawan dengan cara menggunakan ilmunya.  Menurutnya hampir semua orang pintar kampung Pelidang  sepakat melawan dan memberi pelajaran kepada kapal  yang melakukan kerusakan di laut Pelidang itu. “Wallahu’alam, hanya Allah-lah yang tahu semuanya. Tugas kita hanya berikhtiar dan berusaha,” ucap Bandi sembari menunjuk ke atas ketika  ditanya  tentang keberhasilan mereka mengusir kapal itu.  Kapal yang semula akan beroperasi  selama 6 bulan  di laut kampung itu hanya berjalan dua minggu karena mengalami banyak masalah. Mulai dari mesin yang ngadat, kipas yang patah, angin kencang dan gelombang tinggi,  pipa kemasukan batang nipah dan lain-lain. Dari data bor,  timah di perairan Pelidang memiliki kandungan dan mutu  tinggi  namun begitu ditambang banyak yang hampa  bahkan menghilang .  Kita tidak mengusir,  mereka pergi sendiri karena sudah terlalu banyak rugi,” jelas Bandi tentang kepergian dua unit kapal isap itu. Mantan aktifis  mahasiswa  berpostur sedang itu menceritakan tentang  adanya kaitan  pemilukada  dengan kapal isap itu,  yang membuat  Syamsul   makin tertarik dengan kisah sepupu jauhnya itu. Pembicaraan pun jadi lebih serius.

             “Apa hubungannya kapal isap dengan Pilkada?” tanya Samsul
             “kapal isap adalah titik temu  antara  nafsu serakah  tauke dan syahwat politik pejabat ” jawab Bandi
            “kok bisa…?” kejar Syamsul
            “tauke itu perlu perlindungan dan pejabat butuh modal ,” jawab Bandi singkat.
            “tapi pejabat  menyebut  kapal itu investasi?” Syamsul memancing.
            “Kak, ini bukan investasi ini kebodohan ekonomi.  Lihat saja di kampung-kampung yang sudah   dimasuki kapal isap. Apa jadinya kampung itu. Laut rusak  lingkungan berantakan nelayan merana karena ikan  semakin jarang. Kalaupun  disebut investasi  ini adalah investasi dosa  para pejabat itu untuk mereka petik di kemudian hari,” kata Bandi tanpa bisa menyembunyikan kegeramannya.
            “di luar sana orang masih menyebut kampung kita ini sebagai negeri Laskar Pelangi. Yaah, paling tidak masih ada lah sedikit kebanggaan dengan predikat itu,” Syamsul  mencoba menghibur
           “kamipun senanglah dengan sebutan itu. Tapi yang kami hadapi di sini adalah para Laskar Korupsi yang berkolusi dangan saling mengunci.  Mereka menjarah negeri  untuk kepentingan kelompok keluarga dan diri sendiri.  Jika untung mereka nikmati sendiri kalau bermasalah rakyat dan kampunglah yang menanggung akibat dan menanggung  rugi,” jawab Bandi dengan raut sedih.
           “kalo mimbar itu apa hubungannya?” Syamsul masuk ke pokok soal
           “mimbar itu adalah upaya  untuk menyelamatkan muka,” jawab Bandi menggantung dan satire.
           “kok ..?”  Syamsul tak bisa menahan penasaran
           “pejabat yang memberi mimbar itu adalah orang yang sama yang merestui kapal isap masuk ke kampung ini.  Semua warga di sini sudah tahu jika orang itu pula yang minta aparat menangkap warga yang mau protes  ketika kapal itu mulai beroperasi. Tapi karena Allah SWT  tidak mengizinkan,  maka kapal itu pergi sendiri setelah menderita rugi.  Pejabat itu ingin memperbaiki mukanya karena kehilangan muka sejak kapal itu berhenti.  Pejabat itu  tahu mimbar itu simbol moralitas dan kemuliaan. Paling tidak itu yang difahami warga karena itu menyangkut  simbol agama.  Dengan mimbar itu  pejabat itu ingin dinilai sebagai seorang bermoral dan mulia dan berharap warga melupakan tindakan  zholimnya,” jelas Bandi panjang lebar.  Penjelasan  yang membuat Syamsul terdiam dan mengakui kebenaran ucapan saudara sepupu jauhnya itu.  Sejenak dua putra Pelidang beda generasi itu sama-sama terdiam dengan pikirannnya sendiri-sendiri.  Hanya bunyi riak air laut yang mulai pasang yang sudah menjangkau tempat keduanya duduk di sisi sebuah sampan di pelabuhan kampung.  Dari jauh keduanya terlihat seperti siluet karena matahari yang hampir mendekati  garis ufuk dengan sinarnya yang jingga.  Lalu keduanya bergerak  berjalan pulang meninggalkan pelabuhan kecil itu.
Jum’at  sore  bakda Ashar terjadi kegaduhan di mesjid  kampung Pelidang.  Sekelompok anak-anak muda yang dimotori Syamsul  berupaya mengeluarkan mimbar  baru dari mesjid.  Upaya Syamsul dan kawan-kawanya ini ditentang oleh beberapa  warga kampung yang dimotori Haji Rohmat . Haji Rohmat cs  adalah pihak yang mendukung  mimbar itu dan biasa didatangi oleh orang-orang utusan sang  pejabat.  Pertentangan kedua kelompok ini hampir terjadi benturan fisik  jika saja Kades tidak datang ke mesjid itu.
Mimbar itu sudah ada sejak  Kades lama masih menjabat  beberapa bulan lalu.  Selama ini belum ada orang yang  berani mengeluarkannya.  Sama ketika mimbar itu datang belum ada orang yang mengatakan setuju dengan mimbar itu. Maka  saya ingin mendengar alasan masing- masing,”kata  Kades  menengahi.
anak  ini baru beberapa hari tiba di kampung ini. Tidak jelas ujung pangkalnya tiba-tiba ngajak orang  mengeluarkan mimbar ini.  Kita yang tua-tua saja enggak berani  ngotak-ngatik mimbar itu ,” Haji Rohmat berkata  sambil menuding ke arah Syamsul.
mengapa tidak berani?” tanya Kades
pertama, mimbar itu mimbar wakaf dan kita wajib menjaga barang-barang wakaf. Kedua kami takut  nanti kita akan  tulah  kalo sampai memperlakukannya tidak semestinya.  Kalo sudah tulah maka akan berakibat buruk untuk kampung kita ini,” jawab Haji Rohmat dengan nada penuh kemenangan.  Haji yang berusia  50 tahunan juga memuji sang pejabat yang telah berbaik hati mewakafkan mimbar itu. “lagi pula mengapa kita tidak berterima kasih kepada orang yang telah menyumbang mimbar itu,” lanjutnya. 
Ok, Kalo dari sebelah sini bagaimana..?” tanya Kades sambil menoleh ke arah Syamsul dan kawan-kawannya.
“Mudharat mimbar ini sekarang sudah terjadi dan sedang kita alami,  memecah belah warga kampung kita.  Karena di dalamnya mengandung   dhirar  atau gangguan dan tipu daya.  Apa motif di balik mimbar ini? Apakah betul diwakafkan atas karena keimanan atau ketaqwaan? Atau motif jabatan dan dunia?  Selain memecah belah mimbar ini juga mubazir karena mimbar lama masih sangat baik.  Mimbar lama itu di buat  oleh Akek Ael, orang tua zuhud dan wara’  asli dari kampung ini  lebih 50 tahun lalu.  Sampai sekarang keberkahannya masih terasa. Tidak ada rayap yang berani memakannya. Meski warnanya yang kusam termakan usia tapi fisiknya sama sekali belum rusak dan masih tetap kokoh.   Mengapa?  Karena ketaqwaan dan keimanan pembuatnya  yang menjadikan mimbar itu berkah.  Dan lihat mimbar sebelahnya yang mengkilat itu, dibuat  karena pemiliknya menghendaki dunia dan jabatan dan berharap meraih kemuliaan, bukan atas dasar mengejar keridhaanNya.  Dia ingin menutupi rasa malunya karena telah menzholimi warga kampung ini,” kata Syamsul.
Apa kamu enggak takut tulah…?” sergah Haji Rohmat yang  gerah mendengar ucapan Syamsul.
“Semua kampung ini sudah tulah karena tidak menghargai orang-orang tua lagi.  Kalo memang takut tulah jaga mimbar buatan Akek Ael itu  karena itu adalah amal jariyah yang dia harapkan  pahalanya mengalir terus  ketika sekarang dia sudah di alam kubur,” jawab Syamsul  langsung menohok.
Tapi ini mimbar, Jang!  tempat keramat, suci,  yang harus dimuliakan,” Haji Rohmat mencari celah dengan sedikit merendahkan Syamsul dengan  sebutan bujang.
         “Keramat dan suci suatu itu bukan karena fisik bendanya semata tetapi keimanan, ketaqwaan dan perbuatan kita.  Apakah perbuatan-perbuatan kita menggambarkan  itu semua?  Kalo dilihat fisiknya semua pejabat itu mulia karena ucapannya di baliho dan papan reklame mengajar  yang makruf dan mencegah yang munkar.  Penampilannya juga berpeci  lengkap dengan sorban dan baju telok belangonya. Tapi lihat perbuatannya? Apa seperti ucapan dan penampilannya itu?” kata Syamsul retoris.
         “Coba  tahan dulu..” Kades menenangkan suasana. “Kalo kita keluarkan mimbar yang baru itu, apa ada hujjahnya?”
        “Rosulullah Shollallahualaihi wa sallam, suatu ketika di Madinah pernah memerintahkan membakar sebuah  mesjid  karena mesjid  itu dibangun bukan untuk membina keimanan dan ketaqwaan ummat  tapi karena motif dan tujuan politis.  Kalo diqiyaskan  mimbar itu  memiliki  kasus yang sama,” ungkap Syamsul.
        “Pak haji, punya dalil yang menguatkan agar mimbar itu dipertahankan?”  Kades mengarah ke Haji Rohmat dan orang-orangnya.  Dalam hatinya Haji Rohmat sangat ingin mempertahakan mimbar itu karena mimbar itu juga berarti mukanya juga. Karena dialah yang memperbolehkan mimbar itu masuk ke mesjid kampung .  Namun dia tidak memiliki alasan kuat  untuk mempertahankannya.  Maka dengan sedikit  kikuk dia berucap, “yah.. sebagai warga kampung  yang baik saya serahkan sepenuhnya kepada Pak kades untuk memutuskan.”
        “Baik kalo begitu, mari kita angkat mimbar ini bersama-sama keluar mesjid dan meletakkannya  di balai desa,” kata  Kades sembari beranjak dari tempat duduknya.  Namun sebelum Kades berdiri sempurna  tiba-tiba Haji Rohmat mengangkat tangan protes,”lho..apa dasarnya Pak Kades memutuskan untuk memindahkan mimbar itu?”
        “Ya, saya tidak memiliki pengetahuan luas dalam hal ini seperti guru Syamsul, tapi saya ingat ucapan seorang ahli pidato Romawi bernama Cicero  yang hidup sekitar satu abad sebelum masehi.  Dia bilang begini, siapa yang naik mimbar tanpa persiapan maka dia akan turun tanpa kehormatan.  Nah, kalo diqiyaskan  dengan bahasa yang lain jadi begini, siapa yang membuat mimbar tanpa keimanan dan ketaqwaan tetapi berharap mulia dunia dan jabatan maka dia akan menyesali semuanya dan hidupnya akan berakhir dengan kehinaan,  kata Kades dengan wajah serius.  Sejenak kemudian, mimbar yang sempat berdiri beberapa bulan di sisi kiri tempat imam itu diangkat beramai-ramai keluar mesjid kampung Pelidang.  Ketika  itu bulan di atas langit kampung Pelidang  tampak separoh dan pucat karena matahari masih belum terbenam.  Bulan itu menandakan bahwa Sya’ban tidak lama lagi akan berakhir dan Ramadhan segera menjelang.*


Penagan, Ruwah 2011 

0 komentar:

Posting Komentar