Solusi Perbaikan Lingkungan di Bangka
Belitung
Oleh
: Indra Ambalika Syari, S.Pi, M.Si bin H. Syarnubi
Sekretaris Yayasan Sayang Babel Kite
(SBK)&Dosen Ilmu Kelautan - UBB
Banyak sudah hasil penelitian dan tulisan yang memaparkan
masalah kerusakan lingkungan di Bangka Belitung.Bahkan tak sedikit yang
memberikan rekomendasi dan saran perbaikan diakhir tulisan.Namun kenyataan yang
terjadi, kerusakan lingkungan seperti tak dapat dihentikan.Terus terjadi tanpa
mampu dibendung.
Bangka Belitung mungkin dapat berbangga karena kondisi
perekonomian di daerah kita terkesan seperti tak bermasalah.Susah menemukan
orang-orang yang kesulitan hidupnya separah kondisi di Pulau Jawa seperti yang kita
saksikan di televisi.Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Provinsi Kepulauan
Babel Tahun 2013 hanya sebesar 3,3%. Nilai ini lebih rendah daripada TPT
nasional dengan nilai 5,92%. Ini artinya hanya sedikit angkatan kerja di Babel
yang menganggur.Namun pertumbuhan ekonomi Babel kenyataannya cenderung menurun
mulai Tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi Babel di Tahun 2011 sebesar 6,46% menjadi
5,72% pada Tahun 2012. Sedangkan pertumbuhan ekonomi nasional pada Tahun 2012
adalah 6,23%. Banyak asumsi yang menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Kepulauan Babel.Salah satunya adalah karena hasil pertambangan timah yang mulai
lesu bahkan cenderung menurun.
Terlepas dari asumsi ataupun pendapat bahwa kondisi ekonomi
di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung saat ini lebih baik daripada daerah lain,
kita harus menyadari dan sepakat bahwa Bangka Belitung dalam kondisi krisis
lingkungan!.Saat ini kita mungkin tak terlalu bermasalah dengan ekonomi, namun
kita menghadapi krisis ekologi yang kronis.Cobalah intip dari jendela pesawat
terbang bagaimana kondisi bumi Babel. Bandingkan dengan daerah lain (selain DKI
Jakarta). Pasir terbuka bekas galian timah terus bertambah mengelupas wajah Babel.
Kolong-kolong dan lobang camuy bekas galian timah terlihat semakin banyak dan
tak ada tanda-tanda akan berhenti. Sungai-sungai terlihat memutih bukan bening
seperti yang seharusnya.
Gambar 1. Hutan Kelekak Yang Masih Ada
Ini tentu sangat menyedihkan, karena jika halini terus
dibiarkan maka kita menyiapkan lubang kuburan untuk masa depan kita sendiri
sekaligus untuk anak cucu kita. Apa yang bisa kita harapkan dari lingkungan
yang telah rusak karena pembiaran yang kita lakukan? Sementara keuntungan dari
timah sendiri sebenarnya banyak dinikmati oleh orang luar Babel.Bahkan luar
negeri.Kehancuran lingkungan ini sebenarnya berdampak jauh dari sebanding
dengan yang kita peroleh.Lihat saja dampak dari pembiaran ini, malaria dan
cikungunya merajalela, krisis air bersih, tingginya harga komoditi perikanan
dan pertanian sementara tanpa kita sadari daya beli kita mulai stagnan atau
cenderung menurun.
Inspirasi dari Dukun Buaya
Melihat fenomena semakin menipisnya rasa kepedulian kita
terhadap kerusakan lingkungan di daerah ini, penulis menjadi teringat desa
kelahiran.Desa yang terkenal dengan sungai dan buaya-nya.Bukit Layang. Sungai
di desa ini adalah Sungai Layang yang alirannya berkelok-kelok hingga bermuara ke
Sungai Perimping Teluk Kelabat.Sebuah desa kecil diantara Kecamatan Sungailiat
dan Kecamatan Bakam Kabupaten Bangka.Pada Tahun 1991 terjadi peristiwa yang
menggemparkan di Sungai Layang.Seorang pemuda diterkam buaya saat sedang mandi.Sungai
Layang saat itu terkenal dengan airnya yang jernih, banyak terdapat ikan dan
udang satang (udang galah) yang airnya tawar saat laut surut namun payau saat
laut pasang.Tak heran jika sungai ini terkenal sebagai daerah memancing dan
mandi warga.Nasib naas menimpa pemuda tersebut karena saat mandi ternyata ada
buaya yang mengintai.Pemuda yang mandi tersebut tak kunjung pulang ke rumah
hingga akhirnya warga desa menyisir ke pinggir sungai. Benar saja! ditemukan
sepeda motor dan pakaian sang pemuda. Warga langsung berpikir bahwa pemuda tersebut
diterkam oleh buaya berdasarkan pengalaman kasus-kasus sebelumnya.Sebenarnya
kasus manusia diterkam buaya saat itu masih sangat jarang terjadi.Karenanya
banyak warga yang tetap berani mandi di Sungai Layang.Biasanya jika ada warga
yang diterkam buaya berarti ada “sesuatu” yang salah dilakukan oleh masyarakat
terhadap sungai tersebut.
Gambar 2. Desa Bukit Layang
Menjelang sore semakin banyak warga yang menyusuri sungai
untuk mencari jenazah pemuda malang tersebut. Hingga akhirnya datang dukun
buaya yang terkenal di desa kami, Atok Sa’ni (sekarang sudah meninggal dunia).
Ditengah kebingungan warga yang mencari jenazah, Atok Sa’ni menunjuk kearah
pinggiran sungai dan berkata “Disana
jenazahnya!”. Warga pun segera menuju tempat yang ditunjuk oleh Atok Sa’ni
dan tak lama kemudian jenazahpun berhasil diangkat dengan kondisi yang cukup
mengenaskan. Itulah salahsatu kehebatan dukun buaya yang disegani dikampung
kami yang penulis saksikan.
Gambar 3. Jembatan Penghubung Desa Bukit Layang
Dari peristiwa itu warga mulai tak berani mandi di sungai.
Namun biasanya seiring berjalannya waktu warga kembali mandi di sungai seperti
biasa. Dari kejadian itu pulaAtok Sa’ni mengatakan bahwa buaya menerkam warga
yang mandi karena kebiasaan warga yang biasa membuang bangkai hewan ke sungai.
Selain itu karena ada pula warga yang membuang kulit buah seperti cempedak,
durian, dan sampah lainnya sehingga buaya menjadi marah. PetuahAtok Sa’ni
biasanya akan dituruti oleh warga. Bahkan warga tak segan-segan mengingatkan
jika ada warga dari desa lain yang membuang sampah ke sungai melalui jembatan.
Dampak dari petuah Atok Sa’ni ini adalah Sungai Layang di Desa kami menjadi
jernih dan bebas dari sampah. Tak heran kala itu Sungai Layang terkenal dengan
kejernihannya, ikan dan udang satang. Warga pun merasa aman memancing dan mandi
di sungai. Inilah kisah sungai bersih di Desa Bukit Layang kala itu.
Solusi Perbaikan Lingkungan Saat Ini
Atok Sa’ni sudah meninggal dunia sekitar 10 tahun yang lalu.
Petuahnya hilang bersama kepergiannya. Sungai Layang tak lagi jernih, airnya
putih ke abu-abuan. Tak jelas lagi kemana ikan dan udang galahnya pergi. Sejak
tahun 2005, penambangan timah rakyat tak mengenal takut dengan buaya. Air
sungai, ikan, udang satang, buaya dan hutan bakau rusak. Masyarakat menambang
dipinggir aliran sungai hingga menggunakan ponton ditengah-tengah aliran
sungai. tak hanya warga lokal tapi warga pendatang pun berebut menggaruk isi
perut yang terkandung di dalam Sungai Layang. Desa Bukit Layang memang dikenal
sebagai salahsatu IUP darat PT Timah tbk. Dari sebelum penulis lahir sudah ada pertambangan
timah darat di desa kami. Namun hingga sekarang belum pernah kami rasakan
langsung program CSR dari perusahaan timah terbesar di Pulau Bangka ini.
Gambar 4. Tampak Timur Sungai Layang
Jika dulu warga masih peduli memelihara sungai bahkan
mencegah warga lain yang membuang sampah ke sungai karena mendengarkan petuah Atok
Sa’ni karena khawatir buaya akan marah (secara tidak langsung menjadi kearifan
lokal warga menjaga kelestarian Sungai Layang), kini warga seperti terkesan tak
peduli dengan kejernihanSungai Layang yang tinggal kenangan. Hanya memandang
sekilas kemudian berlalu… inilah yang penulis sebut dengan krisis kepedulian.
Karena telah biasa dan jika pedulipun terkesan tak dapat berbuat apa-apa.Cerita
hutan, burung, kejernihan sungai, ikan dan udang galah seperti dongeng dari
orang tua di desa.
Jika dulu ada kearifan lokal, maka sekarang kearifan lokal itu
semakin terkikis dan terkubur.Tak hanya di desa tapi
menjalar juga di daerah perkotaan yang katanya masyarakatnya lebih pintar dan
modern. Orang-orang modern saat ini tak akan mau percaya begitu saja dengan petuah-petuah
orang tua dulu. Meskipun sebenarnya dibalik petuah itu terselip hikmah yang
sangat bijaksana.
Gambar 5. Tampak Barat Sungai Layang
Berdasarkan kondisi yang ada, hancurnya ekosisitem vital;
sumber air bersih, rawa sebagai daerah resapan, hutan perawan dan lubuk sungai
sebagai habitat hewan penting menjadi perlu untuk dilindungi dan dilestarikan.
Bentuk perlindungan itu dirintis dengan berbasis masyarakat lokal yang tertuang
dalam peraturan desa (perdes). Tentu saja konsepnya dibuat sesuai dengan
aspirasi dan kondisi lokal dengan pendekatan dan langkah yang terencana. Penulis
yakin perlahan tapi pasti krisis ekologi di daerah kita dapat sedikit demi
sedikit diredam.Yang penting pemerintah daerah ikut berperan aktif. Bukan hanya
berdebat di ruang rapat tapi ompong implementasi. Tak akan pernah menjadi
solusi.
Tulisan ini
penulis persembahkan untuk desa tercinta; Bukit Layang
0 komentar:
Posting Komentar