Breaking News
Loading...
Senin, 16 Februari 2015


Solusi Perbaikan Lingkungan di Bangka Belitung 
Oleh : Indra Ambalika Syari, S.Pi, M.Si bin H. Syarnubi
Sekretaris Yayasan Sayang Babel Kite (SBK)&Dosen Ilmu Kelautan -  UBB

Banyak sudah hasil penelitian dan tulisan yang memaparkan masalah kerusakan lingkungan di Bangka Belitung.Bahkan tak sedikit yang memberikan rekomendasi dan saran perbaikan diakhir tulisan.Namun kenyataan yang terjadi, kerusakan lingkungan seperti tak dapat dihentikan.Terus terjadi tanpa mampu dibendung.
Bangka Belitung mungkin dapat berbangga karena kondisi perekonomian di daerah kita terkesan seperti tak bermasalah.Susah menemukan orang-orang yang kesulitan hidupnya separah kondisi di Pulau Jawa seperti yang kita saksikan di televisi.Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Provinsi Kepulauan Babel Tahun 2013 hanya sebesar 3,3%. Nilai ini lebih rendah daripada TPT nasional dengan nilai 5,92%. Ini artinya hanya sedikit angkatan kerja di Babel yang menganggur.Namun pertumbuhan ekonomi Babel kenyataannya cenderung menurun mulai Tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi Babel di Tahun 2011 sebesar 6,46% menjadi 5,72% pada Tahun 2012. Sedangkan pertumbuhan ekonomi nasional pada Tahun 2012 adalah 6,23%. Banyak asumsi yang menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kepulauan Babel.Salah satunya adalah karena hasil pertambangan timah yang mulai lesu bahkan cenderung menurun.
Terlepas dari asumsi ataupun pendapat bahwa kondisi ekonomi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung saat ini lebih baik daripada daerah lain, kita harus menyadari dan sepakat bahwa Bangka Belitung dalam kondisi krisis lingkungan!.Saat ini kita mungkin tak terlalu bermasalah dengan ekonomi, namun kita menghadapi krisis ekologi yang kronis.Cobalah intip dari jendela pesawat terbang bagaimana kondisi bumi Babel. Bandingkan dengan daerah lain (selain DKI Jakarta). Pasir terbuka bekas galian timah terus bertambah mengelupas wajah Babel. Kolong-kolong dan lobang camuy bekas galian timah terlihat semakin banyak dan tak ada tanda-tanda akan berhenti. Sungai-sungai terlihat memutih bukan bening seperti yang seharusnya.

 Gambar 1. Hutan Kelekak Yang Masih Ada

Krisis lingkungan ini diperparah lagi dengan krisis kepedulian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan hidup disekitarnya.Sungguh sangat disayangkan jika sebelumnya masyarakat lokal Babel dikenal peduli dengan kelestarian lingkungan sekitarnya secara perlahan namun pasti akhirnya terkikis oleh perubahan zaman dan budaya.Entah karena melihat orang yang merusak hutan, rawa, aliran sungai hingga laut dianggap menjadi hal yang biasa sehingga tak tersentuh perasaannya untuk peduli atau sebaliknya, karena tanpa sadar ikut menikmati hasil timah sehingga malah melindungi kerusakan lingkungan demi rupiah yang didapatkan.
Ini tentu sangat menyedihkan, karena jika halini terus dibiarkan maka kita menyiapkan lubang kuburan untuk masa depan kita sendiri sekaligus untuk anak cucu kita. Apa yang bisa kita harapkan dari lingkungan yang telah rusak karena pembiaran yang kita lakukan? Sementara keuntungan dari timah sendiri sebenarnya banyak dinikmati oleh orang luar Babel.Bahkan luar negeri.Kehancuran lingkungan ini sebenarnya berdampak jauh dari sebanding dengan yang kita peroleh.Lihat saja dampak dari pembiaran ini, malaria dan cikungunya merajalela, krisis air bersih, tingginya harga komoditi perikanan dan pertanian sementara tanpa kita sadari daya beli kita mulai stagnan atau cenderung menurun.
Inspirasi dari Dukun Buaya
Melihat fenomena semakin menipisnya rasa kepedulian kita terhadap kerusakan lingkungan di daerah ini, penulis menjadi teringat desa kelahiran.Desa yang terkenal dengan sungai dan buaya-nya.Bukit Layang. Sungai di desa ini adalah Sungai Layang yang alirannya berkelok-kelok hingga bermuara ke Sungai Perimping Teluk Kelabat.Sebuah desa kecil diantara Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Bakam Kabupaten Bangka.Pada Tahun 1991 terjadi peristiwa yang menggemparkan di Sungai Layang.Seorang pemuda diterkam buaya saat sedang mandi.Sungai Layang saat itu terkenal dengan airnya yang jernih, banyak terdapat ikan dan udang satang (udang galah) yang airnya tawar saat laut surut namun payau saat laut pasang.Tak heran jika sungai ini terkenal sebagai daerah memancing dan mandi warga.Nasib naas menimpa pemuda tersebut karena saat mandi ternyata ada buaya yang mengintai.Pemuda yang mandi tersebut tak kunjung pulang ke rumah hingga akhirnya warga desa menyisir ke pinggir sungai. Benar saja! ditemukan sepeda motor dan pakaian sang pemuda. Warga langsung berpikir bahwa pemuda tersebut diterkam oleh buaya berdasarkan pengalaman kasus-kasus sebelumnya.Sebenarnya kasus manusia diterkam buaya saat itu masih sangat jarang terjadi.Karenanya banyak warga yang tetap berani mandi di Sungai Layang.Biasanya jika ada warga yang diterkam buaya berarti ada “sesuatu” yang salah dilakukan oleh masyarakat terhadap sungai tersebut.
Gambar 2. Desa Bukit Layang

Menjelang sore semakin banyak warga yang menyusuri sungai untuk mencari jenazah pemuda malang tersebut. Hingga akhirnya datang dukun buaya yang terkenal di desa kami, Atok Sa’ni (sekarang sudah meninggal dunia). Ditengah kebingungan warga yang mencari jenazah, Atok Sa’ni menunjuk kearah pinggiran sungai dan berkata “Disana jenazahnya!”. Warga pun segera menuju tempat yang ditunjuk oleh Atok Sa’ni dan tak lama kemudian jenazahpun berhasil diangkat dengan kondisi yang cukup mengenaskan. Itulah salahsatu kehebatan dukun buaya yang disegani dikampung kami yang penulis saksikan.
 Gambar 3. Jembatan Penghubung Desa Bukit Layang 

Dari peristiwa itu warga mulai tak berani mandi di sungai. Namun biasanya seiring berjalannya waktu warga kembali mandi di sungai seperti biasa. Dari kejadian itu pulaAtok Sa’ni mengatakan bahwa buaya menerkam warga yang mandi karena kebiasaan warga yang biasa membuang bangkai hewan ke sungai. Selain itu karena ada pula warga yang membuang kulit buah seperti cempedak, durian, dan sampah lainnya sehingga buaya menjadi marah. PetuahAtok Sa’ni biasanya akan dituruti oleh warga. Bahkan warga tak segan-segan mengingatkan jika ada warga dari desa lain yang membuang sampah ke sungai melalui jembatan. Dampak dari petuah Atok Sa’ni ini adalah Sungai Layang di Desa kami menjadi jernih dan bebas dari sampah. Tak heran kala itu Sungai Layang terkenal dengan kejernihannya, ikan dan udang satang. Warga pun merasa aman memancing dan mandi di sungai. Inilah kisah sungai bersih di Desa Bukit Layang kala itu.

Solusi Perbaikan Lingkungan Saat Ini
Atok Sa’ni sudah meninggal dunia sekitar 10 tahun yang lalu. Petuahnya hilang bersama kepergiannya. Sungai Layang tak lagi jernih, airnya putih ke abu-abuan. Tak jelas lagi kemana ikan dan udang galahnya pergi. Sejak tahun 2005, penambangan timah rakyat tak mengenal takut dengan buaya. Air sungai, ikan, udang satang, buaya dan hutan bakau rusak. Masyarakat menambang dipinggir aliran sungai hingga menggunakan ponton ditengah-tengah aliran sungai. tak hanya warga lokal tapi warga pendatang pun berebut menggaruk isi perut yang terkandung di dalam Sungai Layang. Desa Bukit Layang memang dikenal sebagai salahsatu IUP darat PT Timah tbk. Dari sebelum penulis lahir sudah ada pertambangan timah darat di desa kami. Namun hingga sekarang belum pernah kami rasakan langsung program CSR dari perusahaan timah terbesar di Pulau Bangka ini.
 Gambar 4. Tampak Timur Sungai Layang 

Jika dulu warga masih peduli memelihara sungai bahkan mencegah warga lain yang membuang sampah ke sungai karena mendengarkan petuah Atok Sa’ni karena khawatir buaya akan marah (secara tidak langsung menjadi kearifan lokal warga menjaga kelestarian Sungai Layang), kini warga seperti terkesan tak peduli dengan kejernihanSungai Layang yang tinggal kenangan. Hanya memandang sekilas kemudian berlalu… inilah yang penulis sebut dengan krisis kepedulian. Karena telah biasa dan jika pedulipun terkesan tak dapat berbuat apa-apa.Cerita hutan, burung, kejernihan sungai, ikan dan udang galah seperti dongeng dari orang tua di desa.
Jika dulu ada kearifan lokal, maka sekarang kearifan lokal itu semakin terkikis dan terkubur.Tak hanya di desa tapi menjalar juga di daerah perkotaan yang katanya masyarakatnya lebih pintar dan modern. Orang-orang modern saat ini tak akan mau percaya begitu saja dengan petuah-petuah orang tua dulu. Meskipun sebenarnya dibalik petuah itu terselip hikmah yang sangat bijaksana. 
 Gambar 5. Tampak Barat Sungai Layang

Berdasarkan kondisi yang ada, hancurnya ekosisitem vital; sumber air bersih, rawa sebagai daerah resapan, hutan perawan dan lubuk sungai sebagai habitat hewan penting menjadi perlu untuk dilindungi dan dilestarikan. Bentuk perlindungan itu dirintis dengan berbasis masyarakat lokal yang tertuang dalam peraturan desa (perdes). Tentu saja konsepnya dibuat sesuai dengan aspirasi dan kondisi lokal dengan pendekatan dan langkah yang terencana. Penulis yakin perlahan tapi pasti krisis ekologi di daerah kita dapat sedikit demi sedikit diredam.Yang penting pemerintah daerah ikut berperan aktif. Bukan hanya berdebat di ruang rapat tapi ompong implementasi. Tak akan pernah menjadi solusi.



Tulisan ini penulis persembahkan untuk desa tercinta; Bukit Layang

0 komentar:

Posting Komentar