Sulai Sembilang
By :Aswandi As’an (Putra Penagan – Mendo Barat – Bangka)
By :Aswandi As’an (Putra Penagan – Mendo Barat – Bangka)
Cerpen ini telah disetujui oleh penulis untuk dimuat di Website
Yayasan Sayang Babel kite
Dengan besimpet kain sarung dan mengenakan singlet putih lusuh
Sulai berjalan gontai melihat foto-foto yang terpasang di pohon-pohon dan
baliho besar di sepanjang jalan kampung. Tubuhnya yang kurus dan sedikit
melengkung ke depan sangat pas dengan kain sarung dan singlet lusuhnya itu.
Sesekali dia berhenti berkacak pinggang jika ada foto dan tulisan yang menarik
perhatiannya.Kemudian berlalu sambil bergumam dengan senyum sinis di wajahnya.
Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan Sulai kecuali dirinya sendiri dan
Tuhan. Di kampungnya Sulai dikenal sebagai sosok cerdas meskipun hanya tamat
SD. Jago bersilat lidah dan tangkas berpencak kata serta piawai bermain mantiq
membuat Sulai dikenal dengan panggilan Abunawas Cap Sembilang.Entah dari mana
asal panggilan itu.Tidak ada yang tahu pasti.Tetapi ada yang mengaitkan
panggilan itu karena kesukaannya makan ikan Sembilang.Setiap musim air pasang
seperti sekarang, sore hari sehabis Ashar, Sulai menyusuri sela-sela pohon
Perpat dan Bakau di sepanjang pantai kampungnya memasang rawai untuk menangkap
ikan kegemarannya itu.Pagi keesokan hari ketika air surut ikan-ikan itu sudah
bergelantungan di tali rawai yang diikat di akar gantung pohon Bakau.
Gambar 1. ikan Sembilang
Orang-orang kampung sudah hafal dengan kata-kata Sulai.“Lom tentu!”, kata-kata yang selalu keluar dari mulutnya
jika dia menanggapi gagasan atau pendapat orang lain. Tidak pernah setuju
dengan pendapat orang sebelum mengajukan pendapatnya sendiri.Menyela omongan
lawan dengan menyelipkan kata “Lom tentu”.Maka
selain Abu Nawas Cap Sembilang, Sulai juga dikenal dengan Sulai Lom Tentu. Panggilan
ini populer setelah dia berdebat dengan seorang Sarjana Ekonomi yang melakukan
penelitian kehidupan nelayan di kampungnya dua tahun lalu. Sang Sarjana itu
mengkritik cara hidup Sulai yang tidak ekonomis. Memancing sekitar 2 jam di
laut lalu pulang dan duduk santai di warung kopi Mang Razak selama berjam-jam,
bercengkrama dengan kawan-kawannya sambil main Dambus .Pulang ke rumah bermain
dengan anak-anak dan istrinya.Malam hari usai sembahyang Maghrib mengajar
anak-anaknya ngaji.Habis sembahyang Isya’ dia kembali bertemu dengan
kawan-kawannya sesama nelayan. Setelah itu main gaple atau nonton tv jika ada
siaran pertandingan bola.
“Lom
tentu, tergantung dari mana melihatnya,“ tangkis Sulai. “bercengkrama dan bertemu kawan serta
bersilaturrahmi dengan kerabat dan handai, kan nggak sia-sia juga.”
Merasa Sulai yang hanya tamat SD itu membantah bangkit juga harga diri Sang Sarjana itu.
“Harusnya Pak Sulai lebih dari 2 jam sehari. Dengan 2 jam melaut berapa penghasilan Bapak?” pancing Sarjana itu.
“100 ribu, ” Jawab Sulai singkat.
“Artinya kalau Bapak melaut 12 jam, Bapak bisa membawa pulang 600 ribu,” kata Sarjana itu sumringah.
“Terus, kalau sudah dapat 600 ribu, untuk apa?” tanya Sulai lagi
“Sebagian Bapak bisa tabung,” kata Sarjana bijak
“Terus, kalau sudah nabung?”
“Bapak akan punya banyak uang dan dengan uang itu Bapak bisa beli kapal yang lebih besar. Dengan kapal lebih besar Bapak bisa melaut lebih jauh dan pasti dapat ikan dan uang lebih banyak.”
“Kalau sudah dapat ikan dan uang banyak?”
“Bapak akan jadi orang kaya dan bisa menikmati hidup dengan lebih leluasa,” kata Sarjana itu merasa menang.
“Bagaimana cara menikmati hidup dengan leluasa itu?” tanya Sulai lagi.
“Ya itu tadi, jalan-jalan bertemu kawan, main atau mendengar musik, bercengkarama dengan anak-istri, nonton acara TV yang kita sukai dan lain-lain.”
“Berapa lama waktunya untuk bisa menjadi orang yang bisa menikmati hidup itu?” kejar Sulai.
“Yaah..sekitar 20 tahun ,” jawab Sarjana itu yakin.
“Mengapa saya harus membuang waktu begitu lama untuk bisa menikmati hidup seperti itu.Sekarang saya sudah menjalaninya.Jadi semuanya, lom tentu…!” kata Sulai sambil ngeloyor pergi.
Merasa Sulai yang hanya tamat SD itu membantah bangkit juga harga diri Sang Sarjana itu.
“Harusnya Pak Sulai lebih dari 2 jam sehari. Dengan 2 jam melaut berapa penghasilan Bapak?” pancing Sarjana itu.
“100 ribu, ” Jawab Sulai singkat.
“Artinya kalau Bapak melaut 12 jam, Bapak bisa membawa pulang 600 ribu,” kata Sarjana itu sumringah.
“Terus, kalau sudah dapat 600 ribu, untuk apa?” tanya Sulai lagi
“Sebagian Bapak bisa tabung,” kata Sarjana bijak
“Terus, kalau sudah nabung?”
“Bapak akan punya banyak uang dan dengan uang itu Bapak bisa beli kapal yang lebih besar. Dengan kapal lebih besar Bapak bisa melaut lebih jauh dan pasti dapat ikan dan uang lebih banyak.”
“Kalau sudah dapat ikan dan uang banyak?”
“Bapak akan jadi orang kaya dan bisa menikmati hidup dengan lebih leluasa,” kata Sarjana itu merasa menang.
“Bagaimana cara menikmati hidup dengan leluasa itu?” tanya Sulai lagi.
“Ya itu tadi, jalan-jalan bertemu kawan, main atau mendengar musik, bercengkarama dengan anak-istri, nonton acara TV yang kita sukai dan lain-lain.”
“Berapa lama waktunya untuk bisa menjadi orang yang bisa menikmati hidup itu?” kejar Sulai.
“Yaah..sekitar 20 tahun ,” jawab Sarjana itu yakin.
“Mengapa saya harus membuang waktu begitu lama untuk bisa menikmati hidup seperti itu.Sekarang saya sudah menjalaninya.Jadi semuanya, lom tentu…!” kata Sulai sambil ngeloyor pergi.
Perbincangan Sulai dengan sarjana ekonomi itu sangat lekat di
benak orang kampung dan menjadi pembicaraan cukup lama. Kata “lom tentu” telah menjadi brand Sulai hingga orang mengenalnya
dengan “Sulai Lom tentu” untuk
membedakannya dengan Sulai-Sulai yang lain. Begitu populernya panggilan “Sulai Lom tentu” banyak yang tidak tahu
dengan nama aslinya. Bahkan dia sendiri sudah tidak akrab lagi dengan nama
aslinya itu. Empat tahun lalu, ketika nama Sulaiman bin Mat Sani dipanggil
untuk mencoblos pemilihan bupati, Sulai tidak menyadari kalau yang dipanggil itu
namanya. Sampai tiga kali petugas TPS memanggil nama itu baru Sulai beranjak,
setelah nama orang tuanya disebut berulang-ulang. “Mat Sani.. Mat Sani… Sulaiman bin Mat Sani..” kata petugas itu.***
"Ada yang lucu, Lai..?
Kok senyum-senyum sendiri?” tanya Derahman yang kebetulan melihat Sulai
sedang mengamati foto seorang calon bupati ukuran 1m x 1m. Sang calon berpeci
hitam dengan senyum yang dipaksakan. Di bawahnya tertulis “Bersama Membangun Negeri ”.
“Enggak ada…,” jawab Sulai tanpa menoleh.“Cuma saya mikir saja, apa iya… orang ini akan membangun negeri?Karena yang sudah-sudah ternyata mereka bukan membangun negeri tetapi membangun diri sendiri.”
“Enggak ada…,” jawab Sulai tanpa menoleh.“Cuma saya mikir saja, apa iya… orang ini akan membangun negeri?Karena yang sudah-sudah ternyata mereka bukan membangun negeri tetapi membangun diri sendiri.”
“Itu kan bahasa jualannya,
Lai,” sergah Derahman.
“Masalahnya yang beli
kebanyakan enggak faham barang.Dan kita sering disodorkan dengan kucing dalam
karung,” jawab Sulai.“Lagi pula negeri apa yang bisa dibangun
dalam lima tahun?”
“Koq lima tahun, Lai..?”
Derahman penasaran
“Ya..iya lah… cara berpikir
tokoh seperti ini hanya sejauh lima tahun saja. Sampai pemilihan berikutnya.Makanya
yang paling banyak dibangun diri sendiri bukan negeri seperti yang ada di
gambar itu,” Jelas Sulai dengan nada tinggi.
“Kamu tahu dari mana?”
kejar Derahman
“Sekarang begini, dari mana
mereka dapat uang untuk nyetak poster, foto dan spanduk segitu banyak.Pasti ada
sponsornya. Sponsor akan menagih jika si calon terpilih. Dan celakanya
korbannya kita lagi,” jawab Sulai dengan kening berkerut.
“Jelasnya seperti apa?”
tanya Derahman
“Kapal Isap yang kabarnya
akan masuk ke laut kampung kita ini bagian dari balas budi itu,” jelas
Sulai. Sulai lalu memaparkan kisah tentang rencana kapal isap yang akan
ditempatkan di dua titik di laut kampungnya. Sudah beberapa kali warga kampung
dipanggil ke kantor bupati bergantian untuk mendengar penjelasan tentang kapal
isap itu. Tauke pemilik kapal itu juga sudah beberapa kali hari raya ini
mengirim sapi untuk warga, untuk memikat agar warga setuju dengan penempatan
kapal isap itu.Dan memang sebagian besar warga memuji kedermawanan tauke itu
termasuk beberapa tokoh kampung. Tapi lain halnya dengan Sulai. Sulai tetap
berprinsip bahwa tidak ada makan siang gratis.
“Tapi kan sudah ada AMDAL nya, dan dalam AMDAL itu disebutkan tidak membahayakan lingkungan dan aman untuk laut kita,” kilah Derahman yang sedikit pro dengan kapal isap itu.
“Man… , jangankan AMDAL yang angka-angkanya bisa diutak-atik, BAP saja bisa diatur pasalnya, tuntutan jaksa bisa disesuaikan bunyinya, bahkan palu hakim saja bisa diatur jumlah ketukannya,” kata Sulai dengan nada serius.
Sikap kontra Sulai dengan kapal isap itu sudah menyebar ke semua
warga kampung.Tidak sedikit warga kampung yang menganggapnya tidak tahu diri,
karena selama ini sudah banyak bantuan Si Tauke yang mengalir ke warga
kampung.Ada juga yang menganggapnya sebagai seorang oposan karena persoalan
lama ketidaksetujuannya dengan Lurah sekarang.Ada juga yang mencibir jika
melihat Sulai lewat.Yang mencemoohpun tak kalah gencarnya terutama kelompok
yang sudah menjadi kaki tangan Si tauke.Tapi Sulai tetap Sulai yang bergeming dengan
sikap sebagian warga kampungnya.
Malam itu, balai kampung sudah disesaki warga yang ingin mendengar
kepastian soal kapal isap.Pak Lurah dengan pakaian dinasnya memang paling
mencolok duduk di tengah-tengah para tokoh kampung dan beberapa kepala dusun.
Sulai yang diundang secara khusus duduk di barisan bangku depan berhadapan
langsung dengan meja Pak Lurah. Sulai menjadi tokoh sentral dalam pertemuan itu
dan mendapat undangan khusus dari Pak Lurah.Meski semua mata tertuju kepadanya
tak membuat dirinya grogi ataupun gugup.Dengan mengenakan baju telok belango
coklat Sulai duduk dengan santai seolah dia menikmati setiap tatapan mata
warga.
“Sebelum saya berbicara banyak saya persilahkan lebih dulu Haji Tamrin untuk memberikan sedikit ceramah agar pertemuan kita malam ini lebih berkah,” kata Pak Lurah. Haji Tamrin yang dikenal sebagai tokoh agama di kampung itu langsung membuka dengan salam. Setelah menyampaikan beberapa kalimat sebagai pengantar Haji Tamrin langsung membaca ayat Alqur’an yang menjadi topik ceramahnya.
“Sebelum saya berbicara banyak saya persilahkan lebih dulu Haji Tamrin untuk memberikan sedikit ceramah agar pertemuan kita malam ini lebih berkah,” kata Pak Lurah. Haji Tamrin yang dikenal sebagai tokoh agama di kampung itu langsung membuka dengan salam. Setelah menyampaikan beberapa kalimat sebagai pengantar Haji Tamrin langsung membaca ayat Alqur’an yang menjadi topik ceramahnya.
“Uthii’ullaaha wa athii’ur
rosuula wa ulil amri min kum, taatilah Allah, taatilah Rosul dan para
pemimpin-pemimpinmu,” kata Haji Tamrin dengan sangat fasih.Setelah mengulas
makna ayat yang dibacakannya Haji Tamrin mengingatkan agar semua hadirin untuk
selalu mentaati pemimpin karena itu merupakan perintah Allah dan RosulNya. Lalu
menutup dengan salam dan menyerahkan kembali kepada Pak Lurah.
“Kita semua berharap agar
proyek segera terwujud dan tidak ada lagi warga yang menentang.Karena itu saya
ingin langsung bertanya kepada saudara Sulai yang selama ini selalu menunjukkan
sikap tidak setuju dengan rencana kapal isap ini?”Pak Lurah langsung
menukik dan menuding Sulai.Ruang pertemuan balai itu tiba-tiba hening karena
semua orang menahan napas menunggu Sulai bicara.Pelan-pelan Sulai berdiri.Tubuh
melengkungnya justru menambah kharisma laki-laki ini sebagai seorang bijak
bestari.
“Lantas apa yang salah
dengan sikap saya? Toh ketidaksetujuan saya tidak akan mengganggu rencana itu.
Apalagi bapak-bapak di depan ini sedang berkuasa sekarang. Bisa berbuat
semaunya,” kata Sulai dengan suara datar dan satire.
“Masalahnya, banyak juga
orang yang ikut-ikutan tidak setuju.Itu artinya anda ini provakator untuk
menentang pemimpin.Padahal mentaati pemimpin itu wajib hukumnya, dan anda tahu
itu.” kata Pak Lurah dengan pandangan tajam.
“Mohon maaf Pak Lurah, saya
tidak menentang pemimpin tetapi saya menentang pejabat,” kata Sulai tenang.
“Apa bedanya? Kan sama saja,”
tanya Pak Lurah gusar
“Lom tentu, pemimpin itu khodimul
ummah, pelayan ummat dan selalu memikirkan kepentingan rakyat dan orang
banyak.Kalau pejabat itu minta dilayani dan menjadikan rakyat sebagai
pelayannnya, kata-katanya membangun negeri tetapi perbuatannya membangun diri
sendiri,” jawab Sulai menyindir.
Pak Lurah merasa tersengat listrik.Niat untuk menghakimi Sulai
justru berbalik. Sulai justru memanfaatkan majelis itu sebagai alat untuk
memojokkan Pak Lurah dan orang-orangnya dengan membuka mata warga atas apa yang
dilakukan oleh Pak Lurah dan orang-orangnya. Masih dalam posisi berdiri Sulai
melanjutkan kata-katanya.
“Seorang pemimpin selalu
memikirkan nasib generasi berikutnya.Sedangkan pejabat hanya peduli dengan
posisi berikutnya.Maka mohon maaf kepada semua yang hadir, saya tidak menentang
pemimpin tetapi saya menentang pejabat,” kata Sulai dengan posisi badan
mengahadap ke arah warga.Diam-diam sebagian warga yang semula mencemooh Sulai
berbalik simpati kepada laki-laki kerempeng itu.Dan Pak Lurah merasa kehilangan
muka dengan ucapan Sulai.Dengan sikap wibawa yang dibuat-buat Pak Lurah mencoba
melunakkan hati Sulai.
“Apa menurutmu kapal isap
itu akan merugikan?Bukankah mereka berjanji akan memberi fee untuk kampung kita,”
kata Pak Lurah melunak.
“Siapa yang menjamin tauke
itu akan memegang ucapannya? Dan siapa yang menjamin masalah ini tidak akan
membuat kita bertengkar antar saudara? Sekarang saja, kapalnya masih di antah
berantah dan baru kabarnya yang sampai ke kampung ini sudah membuat kita saling
menuding,” kata Sulai yang dijawab dengan anggukan sebagian tokoh yang
hadir.Sulai makin mendapat angin dengan diamnya semua yang hadir.“Tapi itu terserah kepada Bapak-bapak
semua.Kalau saya pribadi hanya satu hal yang paling saya takutkan terjadi…,”kata
Sulai dengan terputus.Ruang pertemuan sangat hening sehingga sepotong jarum
yang jatuhpun bisa terdengar. Semua orang menatap dan menunggu kelanjutan
kata-kata Sulai.
“Apa itu?” tanya Pak Lurah dengan tidak sabar
“Apa itu?” tanya Pak Lurah dengan tidak sabar
“Kapal itu akan merusak
karang dan merubah lingkungan laut. Tercemarnya air laut akan membunuh
mahluk-mahluk dasar laut . Kalau itu terjadi maka akan membuat bencana bagi
saya karena…..,” kata Sulai sengaja menghentikan kalimatnya.
“Karena apa, Lai?” kata
Pak Lurah dengan nada tinggi karena merasa dipermainkan. Sulai kemudian menyapu
pandangannya ke semua arah dengan melihat satu-satu warga yang hadir.
“Karena … ikan sembilang pun akan hilang dan punah dari laut kampung kita,” kata Sulai dengan muka ditekuk.
“Karena … ikan sembilang pun akan hilang dan punah dari laut kampung kita,” kata Sulai dengan muka ditekuk.
“Ha ha ha ha……..,”
tiba-tiba meledaklah tawa semua warga yang hadir. Hanya Pak Lurah yang tidak
tertawa karena dia sibuk menahan amarah dan menguasai dirinya.Sejenak kemudian
satu-satu warga pulang meninggalkan balai.Pertemuan itupun berakhir tanpa
ditutup.Sulaipun pamit dengan menyalami satu-satu tokoh yang duduk di
depannya.Arloji di tangannya sudah menunjuk pukul 23.42 menit.Sulai berjalan
pulang menemui anak dan istrinya. Tidur untuk bangun esok pagi melihat rawai
sembilangnya yang dipasangnya sore tadi.*****
0 komentar:
Posting Komentar