Breaking News
Loading...
Kamis, 12 Februari 2015

Sulai Sembilang
By :Aswandi As’an
(Putra Penagan – Mendo Barat – Bangka)
Cerpen ini telah disetujui oleh penulis untuk dimuat di Website Yayasan Sayang Babel kite


Dengan besimpet kain sarung dan mengenakan singlet putih lusuh Sulai berjalan gontai melihat foto-foto yang terpasang di pohon-pohon dan baliho besar di sepanjang jalan kampung. Tubuhnya yang kurus dan sedikit melengkung ke depan sangat pas dengan kain sarung dan singlet lusuhnya itu. Sesekali dia berhenti berkacak pinggang jika ada foto dan tulisan yang menarik perhatiannya.Kemudian berlalu sambil bergumam dengan senyum sinis di wajahnya. Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan Sulai kecuali dirinya sendiri dan Tuhan. Di kampungnya Sulai dikenal sebagai sosok cerdas meskipun hanya tamat SD. Jago bersilat lidah dan tangkas berpencak kata serta piawai bermain mantiq membuat Sulai dikenal dengan panggilan Abunawas Cap Sembilang.Entah dari mana asal panggilan itu.Tidak ada yang tahu pasti.Tetapi ada yang mengaitkan panggilan itu karena kesukaannya makan ikan Sembilang.Setiap musim air pasang seperti sekarang, sore hari sehabis Ashar, Sulai menyusuri sela-sela pohon Perpat dan Bakau di sepanjang pantai kampungnya memasang rawai untuk menangkap ikan kegemarannya itu.Pagi keesokan hari ketika air surut ikan-ikan itu sudah bergelantungan di tali rawai yang diikat di akar gantung pohon Bakau.




 Gambar 1. ikan Sembilang

Orang-orang kampung sudah hafal dengan kata-kata Sulai.Lom tentu!”, kata-kata yang selalu keluar dari mulutnya jika dia menanggapi gagasan atau pendapat orang lain. Tidak pernah setuju dengan pendapat orang sebelum mengajukan pendapatnya sendiri.Menyela omongan lawan dengan menyelipkan kata “Lom tentu”.Maka selain Abu Nawas Cap Sembilang, Sulai juga dikenal dengan Sulai Lom Tentu. Panggilan ini populer setelah dia berdebat dengan seorang Sarjana Ekonomi yang melakukan penelitian kehidupan nelayan di kampungnya dua tahun lalu. Sang Sarjana itu mengkritik cara hidup Sulai yang tidak ekonomis. Memancing sekitar 2 jam di laut lalu pulang dan duduk santai di warung kopi Mang Razak selama berjam-jam, bercengkrama dengan kawan-kawannya sambil main Dambus .Pulang ke rumah bermain dengan anak-anak dan istrinya.Malam hari usai sembahyang Maghrib mengajar anak-anaknya ngaji.Habis sembahyang Isya’ dia kembali bertemu dengan kawan-kawannya sesama nelayan. Setelah itu main gaple atau nonton tv jika ada siaran pertandingan bola.
Lom tentu, tergantung dari mana melihatnya,“ tangkis Sulai. “bercengkrama dan bertemu kawan serta bersilaturrahmi dengan kerabat dan handai, kan nggak sia-sia juga.”
Merasa Sulai yang hanya tamat SD itu membantah bangkit juga harga diri Sang Sarjana itu.
Harusnya Pak Sulai lebih dari 2 jam sehari. Dengan 2 jam melaut berapa penghasilan Bapak?” pancing Sarjana itu.
100 ribu, ” Jawab Sulai singkat.
Artinya kalau Bapak melaut 12 jam, Bapak bisa membawa pulang 600 ribu,” kata Sarjana itu sumringah.
Terus, kalau sudah dapat 600 ribu, untuk apa?” tanya Sulai lagi
Sebagian Bapak bisa tabung,” kata Sarjana bijak
Terus, kalau sudah nabung?”
Bapak akan punya banyak uang dan dengan uang itu Bapak bisa beli kapal yang lebih besar. Dengan kapal lebih besar Bapak bisa melaut lebih jauh dan pasti dapat ikan dan uang lebih banyak.”
Kalau sudah dapat ikan dan uang banyak?”
Bapak akan jadi orang kaya dan bisa menikmati hidup dengan lebih leluasa,” kata Sarjana itu merasa menang.
Bagaimana cara menikmati hidup dengan leluasa itu?” tanya Sulai lagi.
Ya itu tadi, jalan-jalan bertemu kawan, main atau mendengar musik, bercengkarama dengan anak-istri, nonton acara TV yang kita sukai dan lain-lain.”
Berapa lama waktunya untuk bisa menjadi orang yang bisa menikmati hidup itu?” kejar Sulai.
Yaah..sekitar 20 tahun ,” jawab Sarjana itu yakin.
Mengapa saya harus membuang waktu begitu lama untuk bisa menikmati hidup seperti itu.Sekarang saya sudah menjalaninya.Jadi semuanya, lom tentu…!” kata Sulai sambil ngeloyor pergi.
Perbincangan Sulai dengan sarjana ekonomi itu sangat lekat di benak orang kampung dan menjadi pembicaraan cukup lama. Kata “lom tentu” telah menjadi brand Sulai hingga orang mengenalnya dengan “Sulai Lom tentu” untuk membedakannya dengan Sulai-Sulai yang lain. Begitu populernya panggilan “Sulai Lom tentu” banyak yang tidak tahu dengan nama aslinya. Bahkan dia sendiri sudah tidak akrab lagi dengan nama aslinya itu. Empat tahun lalu, ketika nama Sulaiman bin Mat Sani dipanggil untuk mencoblos pemilihan bupati, Sulai tidak menyadari kalau yang dipanggil itu namanya. Sampai tiga kali petugas TPS memanggil nama itu baru Sulai beranjak, setelah nama orang tuanya disebut berulang-ulang. “Mat Sani.. Mat Sani… Sulaiman bin Mat Sani..” kata petugas itu.***
"Ada yang lucu, Lai..? Kok senyum-senyum sendiri?” tanya Derahman yang kebetulan melihat Sulai sedang mengamati foto seorang calon bupati ukuran 1m x 1m. Sang calon berpeci hitam dengan senyum yang dipaksakan. Di bawahnya tertulis “Bersama Membangun Negeri ”.
Enggak ada…,” jawab Sulai tanpa menoleh.“Cuma saya mikir saja, apa iya… orang ini akan membangun negeri?Karena yang sudah-sudah ternyata mereka bukan membangun negeri tetapi membangun diri sendiri.”
Itu kan bahasa jualannya, Lai,” sergah Derahman.
Masalahnya yang beli kebanyakan enggak faham barang.Dan kita sering disodorkan dengan kucing dalam karung,” jawab Sulai.“Lagi pula negeri apa yang bisa dibangun dalam lima tahun?”
Koq lima tahun, Lai..?” Derahman penasaran
Ya..iya lah… cara berpikir tokoh seperti ini hanya sejauh lima tahun saja. Sampai pemilihan berikutnya.Makanya yang paling banyak dibangun diri sendiri bukan negeri seperti yang ada di gambar itu,” Jelas Sulai dengan nada tinggi.
Kamu tahu dari mana?” kejar Derahman
Sekarang begini, dari mana mereka dapat uang untuk nyetak poster, foto dan spanduk segitu banyak.Pasti ada sponsornya. Sponsor akan menagih jika si calon terpilih. Dan celakanya korbannya kita lagi,” jawab Sulai dengan kening berkerut.
Jelasnya seperti apa?” tanya Derahman
Kapal Isap yang kabarnya akan masuk ke laut kampung kita ini bagian dari balas budi itu,” jelas Sulai. Sulai lalu memaparkan kisah tentang rencana kapal isap yang akan ditempatkan di dua titik di laut kampungnya. Sudah beberapa kali warga kampung dipanggil ke kantor bupati bergantian untuk mendengar penjelasan tentang kapal isap itu. Tauke pemilik kapal itu juga sudah beberapa kali hari raya ini mengirim sapi untuk warga, untuk memikat agar warga setuju dengan penempatan kapal isap itu.Dan memang sebagian besar warga memuji kedermawanan tauke itu termasuk beberapa tokoh kampung. Tapi lain halnya dengan Sulai. Sulai tetap berprinsip bahwa tidak ada makan siang gratis.

Tapi kan sudah ada AMDAL nya, dan dalam AMDAL itu disebutkan tidak membahayakan lingkungan dan aman untuk laut kita,” kilah Derahman yang sedikit pro dengan kapal isap itu.
Man… , jangankan AMDAL yang angka-angkanya bisa diutak-atik, BAP saja bisa diatur pasalnya, tuntutan jaksa bisa disesuaikan bunyinya, bahkan palu hakim saja bisa diatur jumlah ketukannya,” kata Sulai dengan nada serius.
Sikap kontra Sulai dengan kapal isap itu sudah menyebar ke semua warga kampung.Tidak sedikit warga kampung yang menganggapnya tidak tahu diri, karena selama ini sudah banyak bantuan Si Tauke yang mengalir ke warga kampung.Ada juga yang menganggapnya sebagai seorang oposan karena persoalan lama ketidaksetujuannya dengan Lurah sekarang.Ada juga yang mencibir jika melihat Sulai lewat.Yang mencemoohpun tak kalah gencarnya terutama kelompok yang sudah menjadi kaki tangan Si tauke.Tapi Sulai tetap Sulai yang bergeming dengan sikap sebagian warga kampungnya.
Malam itu, balai kampung sudah disesaki warga yang ingin mendengar kepastian soal kapal isap.Pak Lurah dengan pakaian dinasnya memang paling mencolok duduk di tengah-tengah para tokoh kampung dan beberapa kepala dusun. Sulai yang diundang secara khusus duduk di barisan bangku depan berhadapan langsung dengan meja Pak Lurah. Sulai menjadi tokoh sentral dalam pertemuan itu dan mendapat undangan khusus dari Pak Lurah.Meski semua mata tertuju kepadanya tak membuat dirinya grogi ataupun gugup.Dengan mengenakan baju telok belango coklat Sulai duduk dengan santai seolah dia menikmati setiap tatapan mata warga.
Sebelum saya berbicara banyak saya persilahkan lebih dulu Haji Tamrin untuk memberikan sedikit ceramah agar pertemuan kita malam ini lebih berkah,” kata Pak Lurah. Haji Tamrin yang dikenal sebagai tokoh agama di kampung itu langsung membuka dengan salam. Setelah menyampaikan beberapa kalimat sebagai pengantar Haji Tamrin langsung membaca ayat Alqur’an yang menjadi topik ceramahnya.
Uthii’ullaaha wa athii’ur rosuula wa ulil amri min kum, taatilah Allah, taatilah Rosul dan para pemimpin-pemimpinmu,” kata Haji Tamrin dengan sangat fasih.Setelah mengulas makna ayat yang dibacakannya Haji Tamrin mengingatkan agar semua hadirin untuk selalu mentaati pemimpin karena itu merupakan perintah Allah dan RosulNya. Lalu menutup dengan salam dan menyerahkan kembali kepada Pak Lurah.
Kita semua berharap agar proyek segera terwujud dan tidak ada lagi warga yang menentang.Karena itu saya ingin langsung bertanya kepada saudara Sulai yang selama ini selalu menunjukkan sikap tidak setuju dengan rencana kapal isap ini?”Pak Lurah langsung menukik dan menuding Sulai.Ruang pertemuan balai itu tiba-tiba hening karena semua orang menahan napas menunggu Sulai bicara.Pelan-pelan Sulai berdiri.Tubuh melengkungnya justru menambah kharisma laki-laki ini sebagai seorang bijak bestari.
Lantas apa yang salah dengan sikap saya? Toh ketidaksetujuan saya tidak akan mengganggu rencana itu. Apalagi bapak-bapak di depan ini sedang berkuasa sekarang. Bisa berbuat semaunya,” kata Sulai dengan suara datar dan satire.
Masalahnya, banyak juga orang yang ikut-ikutan tidak setuju.Itu artinya anda ini provakator untuk menentang pemimpin.Padahal mentaati pemimpin itu wajib hukumnya, dan anda tahu itu.” kata Pak Lurah dengan pandangan tajam.
Mohon maaf Pak Lurah, saya tidak menentang pemimpin tetapi saya menentang pejabat,” kata Sulai tenang.
Apa bedanya? Kan sama saja,” tanya Pak Lurah gusar
Lom tentu, pemimpin itu khodimul ummah, pelayan ummat dan selalu memikirkan kepentingan rakyat dan orang banyak.Kalau pejabat itu minta dilayani dan menjadikan rakyat sebagai pelayannnya, kata-katanya membangun negeri tetapi perbuatannya membangun diri sendiri,” jawab Sulai menyindir.
Pak Lurah merasa tersengat listrik.Niat untuk menghakimi Sulai justru berbalik. Sulai justru memanfaatkan majelis itu sebagai alat untuk memojokkan Pak Lurah dan orang-orangnya dengan membuka mata warga atas apa yang dilakukan oleh Pak Lurah dan orang-orangnya. Masih dalam posisi berdiri Sulai melanjutkan kata-katanya.
Seorang pemimpin selalu memikirkan nasib generasi berikutnya.Sedangkan pejabat hanya peduli dengan posisi berikutnya.Maka mohon maaf kepada semua yang hadir, saya tidak menentang pemimpin tetapi saya menentang pejabat,” kata Sulai dengan posisi badan mengahadap ke arah warga.Diam-diam sebagian warga yang semula mencemooh Sulai berbalik simpati kepada laki-laki kerempeng itu.Dan Pak Lurah merasa kehilangan muka dengan ucapan Sulai.Dengan sikap wibawa yang dibuat-buat Pak Lurah mencoba melunakkan hati Sulai.
Apa menurutmu kapal isap itu akan merugikan?Bukankah mereka berjanji akan memberi fee untuk kampung kita,” kata Pak Lurah melunak.
Siapa yang menjamin tauke itu akan memegang ucapannya? Dan siapa yang menjamin masalah ini tidak akan membuat kita bertengkar antar saudara? Sekarang saja, kapalnya masih di antah berantah dan baru kabarnya yang sampai ke kampung ini sudah membuat kita saling menuding,” kata Sulai yang dijawab dengan anggukan sebagian tokoh yang hadir.Sulai makin mendapat angin dengan diamnya semua yang hadir.“Tapi itu terserah kepada Bapak-bapak semua.Kalau saya pribadi hanya satu hal yang paling saya takutkan terjadi…,”kata Sulai dengan terputus.Ruang pertemuan sangat hening sehingga sepotong jarum yang jatuhpun bisa terdengar. Semua orang menatap dan menunggu kelanjutan kata-kata Sulai.
Apa itu?” tanya Pak Lurah dengan tidak sabar
Kapal itu akan merusak karang dan merubah lingkungan laut. Tercemarnya air laut akan membunuh mahluk-mahluk dasar laut . Kalau itu terjadi maka akan membuat bencana bagi saya karena…..,” kata Sulai sengaja menghentikan kalimatnya.
Karena apa, Lai?” kata Pak Lurah dengan nada tinggi karena merasa dipermainkan. Sulai kemudian menyapu pandangannya ke semua arah dengan melihat satu-satu warga yang hadir.
Karena … ikan sembilang pun akan hilang dan punah dari laut kampung kita,” kata Sulai dengan muka ditekuk.
Ha ha ha ha……..,” tiba-tiba meledaklah tawa semua warga yang hadir. Hanya Pak Lurah yang tidak tertawa karena dia sibuk menahan amarah dan menguasai dirinya.Sejenak kemudian satu-satu warga pulang meninggalkan balai.Pertemuan itupun berakhir tanpa ditutup.Sulaipun pamit dengan menyalami satu-satu tokoh yang duduk di depannya.Arloji di tangannya sudah menunjuk pukul 23.42 menit.Sulai berjalan pulang menemui anak dan istrinya. Tidur untuk bangun esok pagi melihat rawai sembilangnya yang dipasangnya sore tadi.*****

0 komentar:

Posting Komentar